Bila kita cermati, terdapat 2 (dua) hal pada saat
kita membahas hukum atau aturan di bidang internet yakni infrastruktur dan
konten (materi). Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang
infrastruktur, yakni peraturan hukum tentang telekomunikasi dan penyiaran serta
ketentuan tentang frekuensi radio dan orbit satelit.
Sementara itu pada bagian konten (materi),
pemerintah telah mengeluarkan banyak peraturan yang berhubungan dengan
pemanfaatan internet sebagai media informasi antaralain tentang perlindungan
konsumen, perbankan, asuransi, hak kekayaan intelektuan, pokok pers, ketentuan
pidana perdata (kata kuncinya adalah “informasi”).
Meski berbeda, internet ternyata “tunduk” pada
ketentuan hukum yang sudah ada (di dunia nyata). Tidak satu ruanganpun di
internet yang bebas dari aturan hukum. Kita ambil contoh setelah terjadinya
ledakan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta. Sejauh ini, pada awalnya
aturan hukum yang mengatur hal tersebut sudah dinyatakan di dalam UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 21 yang menyebutkan, bahwa
penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan
dan ketertiban umum. Dalam penjelasannya yang tertera pada UU Telekomunikasi
tersebut disebutkan, bahwa penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang
patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan , atau ketertiban
umum.
Ketika UU No. 11 Tahun 2008 masih belum disahkan,
ketentuan tersebut di atas cukup efektif dijadikan salah satu dasar bagi
Departemen Kominfo untuk mengatasi peredaran film yang kontroversial dan
mengandung unsure pertentangan SARA di suatu situs popular tertentu, ketika
masyarakat dihebohkan oleh kehadiran film Fitna yang mengusik ketenangan Ummat
Islam di seluruh dunia. Saat itu juga setelah mempertimbangkan dari berbagai
aspek,Menteri Kominfo mengirimkan surat tentang pemblokiran situs dan blog yang
memuat film Fitna, yang ditujukan kepada penyelenggara IIX, penyelenggara OIXP,
penyelenggara ISP (146 perusahaan saat itu ) dan penyelenggara NAP (30 perusahaan
saat itu). Surat tersebut dilatar belakangi oleh suatu sikap keprihatinan yang
sangat mendalam, bahwa penayangan film Fitna melalui internet yang dibuat oleh
seorang politisi Belanda Geert Wilders, disinyalir dapat mengakibatkan gangguan
hubungan antar ummat beragama dan harmoni antar peradaban pada tingkat global.
Itulah sebabnya Menteri Kominfo meminta kepada para stakeholders tersebut untuk
dengan segenap daya dan upaya untuk segera melakukan pemblokiran pada situs
maupun blog yang melakukan posting film Fitna tersebut.
Prosedur yang ditempuh oleh pemerintah dalam
pengiriman surat adalah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu selain sebelumnya sudah mengadakan
konsultasi dengfan para stake holder, juga sudah mendasarkan pada berbagai
pertimbangan dan tetap selektif serta tidak ada maksud pemerintah untuk
sembarangan melakukan pembatasan untuk memperoleh akses informasi melalui jasa
internet tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, karena terbukti media internet
banyak menunjukkan manfaat yang konstruktif terkecuali penayangan film Fitna
melalui media internet tersebut dan juga penayangan informasi-informasi lain
yang substansinya patut diduga kuat dan diyakini bertentangan dengan
kepentingan umum, keamanan, kesusilaan dan ketertiban umum .
No comments:
Post a Comment