silahkan klik link ini :
http://adf.ly/c4y6C
untuk download makalah prediksi Perekonomian indonesia 2014
http://adf.ly/c4y6C
untuk download makalah prediksi Perekonomian indonesia 2014
Kata
Pengantar
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Allah Swt Atas Berkat Rahmat-nya lah kami dapat
menyelesaikan Tugas ini sesuai dengan yang di harapkan ,dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai “Prediksi perekonomian indonesia 2014”.
Adapun tujuan Makalah ini dibuat yaitu
agar mahasiswa ataupun mahasiswi serta semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini dapat mengetahui lebih dalam kembali mengenai
preediksi perekonomian indonesia 2014,pada makalah ini akan ada banyak
pembahasan yang mungkin mahasiswa ataupun mahasiswi yang belum di bahas maka
kami sebagai penulis akan membahasnya pada makalah ini.
Sebagai penulis ,kami sadar bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan,karena sesungguhnya kesempurnaan hanya
seutuhnya milik Allah SWT ,oleh karena itu kami mengharapkan kritik ataupun
saran dari mahasiswa / mahasiswi serta dosen pembimbing agar makalah ini dapat
menjadi jauh lebih sempurna kembali dari yang sebelumnya.
Dengan terselesainya makalah ini
selain kami ucapkan kepada Allah SWT ,kami mengucpakan kembali terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini
serta teman – teman yang turut serta dalam pengumpulan data sampai pada
pembuatan akhirnya, kami berharap agar makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak baik pembaca,mahasiswa serta masyrakat dalam
menambah wawasan dan pengetahuan yang ada saat ini demi terciptanya perekonomian indonesia yang
baik
Bekasi,
10 january 2014
( )
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB 1 Pendahuluan
·
Abstrak
·
Pembukaan
Ekonomi Global
·
Latar
Belakang
·
Rumusan
Masalah
·
Metodelogi
Penelitian
·
Tujuan
Penelitian
BAB 2 Permasalahan
1.
Perkembangan
Ekonomi Global
·
Perekonomian
amerika serikat : pemulihan ekonomi yang lambat
·
Perekonomian
jepang : di dorong abenomics
·
Perekonomian
eropa : sudah melewati titik rendah
·
Perekonomian
china : mulai stabil
·
Perekonomian
india : melambat tajam
·
Negara
berkembang : negara BRICS lainnya
·
Perkembangan
dan prospek ekonomi ASEAN
2.
Prospek
perekonomian 2014
·
Prediksi
beberapa variabel ekonomi makro tahun 2014
·
Inflasi
lebih rendah
·
Suku
bunga :walaupun ada ruang ,mungkin tidak turun
·
Nilai
tukar rupiah : cenderung stabil lemah
·
Prospek
fiskal : daya dorong minimal
·
Pertumbuhan
ekonomi
·
Belanja
rumah tangga
·
Belanja
pemerintah
·
Investasi
·
Ekspor
·
Resiko
ekonomi melambat lebih parah
·
Prospek
ekonomi dan keuangan syariah 2014
·
Memaknai
ekonomi syariah
·
Prediksi
industri keuangan syariah 2014
·
Indonesia
pusat keuangan syariah dunia
3.
Perkembangan
sektoral
·
Sektor
retail konsumsi
·
Sektor
pertambangan
·
Sektor
perkebunan
BAB 3 Pembahasan
1.
Pendapat
Anggota Kelompok
2.
Kesimpulan
Pendapat Kelompok
BAB 4 Penutup
1.
Kesimpulan
2.
Kritik
dan Sarran
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Abstrak
Kinerja perekonomian global di tahun
2013 lebih lemah dari perkiraan semula. Lembaga-lembaga dunia, seperti IMF dan
World Bank, sampai merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi dunia
berkali-kali. Emerging economy, yang sempat diharapkan menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi dunia menggantikan negara-negara maju, ternyata mengalami
perlambatan pertumbuhan yang cukup signifikan. Sementara negara-negara maju
tampak memperlihatkan perbaikan yang menjanjikan Secara umum perekonomian
global mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi pada semester pertama tahun
2013. Memasuki semester kedua tahun 2014, keadaan mulai berangsur-angsur
membaik
Kekhawatiran
terhadap defisit transaksi berjalan telah membuat otoritas moneter kita
cenderung memperketat kebijakan moneternya Angka inflasi diprediksi akan
berada pada level yang relatif rendah dengan asumsi pemerintah tidak akan
menaikkan harga BBM bersubsidi di tahun 2014 Pada tahun 2014 pertumbuhan
ekonomi Indonesia diperkirakan akan tidak jauh dengan tren yang terjadi
menjelang akhir tahun 2013. Ekonomi akan tumbuh dengan laju 5,5 persen di tahun
2014, lebih lambat dari 5,7 persen di tahun 2013 dan Permintaan di pasar global pun akan
cenderung membaik di tahun 2014
1.2 Perkembangan ekonomi global
Perekonomian Global
Secara
umum perekonomian global mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi pada semester
pertama tahun 2013. Memasuki semester kedua, keadaan mulai berangsur-angsur
membaik.
Ketidakpastian
global pada tahun 2013 diperburuk oleh beberapa isu di AS. Spekulasi bahwa the
Fed akan segera mengurangi jumlah uang yang diinjeksikannya ke dalam sistem
perekonomian (tapering), sempat mengguncang pasar finansial dunia.
Masalah lain yang sempat menggoncangkan pasar finansial dunia adalah masalah
anggaran pemerintah AS dan masalah batas utang pemerintah AS. Walaupun di tahun
2013 dapat ditangani dengan baik, masalah-masalah ini masih akan muncul di
tahun 2014 dan dapat kembali menimbulkan gejolak di perekonomian global.
Walaupun
demikian, kebijakan moneter dan Fiskal di AS diperkirakan akan tetap memberi
ruang bagi pertumbuhan yang lebih cepat.
Eropa
sudah mengeluarkan berbagai upaya untuk mengeluarkan kawasan tersebut dari
krisis. Upaya tersebut sudah mulai memberikan hasil, karena walaupun secara
keseluruhan negara di kawasan Uni Eropa masih mengalami pertumbuhan ekonomi
negatif, sudah ada tanda-tanda ekonomi Eropa mulai membaik. Perekonomian Eropa
diperkirakan masih akan terus membaik dan bahkan dapat mencetak pertumbuhan
positif di tahun 2014.
Perekonomian
Jepang menunjukkan pertumbuhan yang kuat akibat dampak dari Abenomics yang
diluncurkan oleh pemerintah Jepang. Di tahun 2014 Jepang diperkirakan masih
akan mempertahankan kebijakan agresifnya untuk menopang pertumbuhan ekonomi
negara tersebut.
Negara-negara berkembang mengalami perlambatan
pertumbuhan yang cukup signifikan. Ekonomi China dan India mengalami
perlambatan yang cukup signifikan. Kelesuan ekonomi di negara-negara maju telah
menekan kinerja ekspor negara-negara berkembang. Namun, dengan membaiknya
kondisi di negara maju, negara-negara berkembang akan menerima dampak
positifnya. Secara keseluruhan, perekonomian global di tahun 2014 akan sedikit
lebih baik dari keadaan di tahun 2013
1.3 Latar
Belakang
Kondisi perekonomian global di
tahun 2013 ternyata lebih lemah dari perkiraan semula. Memang, kecemasan
terhadap krisis utang Eropa dan bubarnya EU sudah tidak menghantui perekonomian
global lagi. Ekonomi AS pun tampak lebih stabil. Jepang juga dapat bertumbuh
dengan cukup baik. Namun, laju pertumbuhan perekonomian global belum dapat
dibilang kuat. Eropa bahkan masih mengalami pertumbuhan negatif. AS pun masih
tumbuh jauh di bawah laju pertumbuhan potensialnya.
Negara-negara berkembang pun
tidak menunjukkan kinerja yang terlalu cerah. Hampir seluruh negara berkembang
mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan. Negara-negara BRICS, yang selama
ini dianggap sebagai alternatif mesin pertumbuhan dunia yang dapat menggantikan
peran negara-negara maju, juga mengalami berbagai kendala yang menyulitkan
mereka untuk tumbuh dengan laju yang lebih cepat.
Kondisi global diperburuk lagi
oleh beberapa masalah di AS yang sempat memicu timbulnya sentimen negatif
terhadap perekonomian dunia. AS masih terjebak dengan isu-isu yang dapat
membahayakan pemulihan di AS sendiri, maupun pemulihan perekonomian dunia. Isu
anggaran pemerintah AS (yang sempat menyebabkan government shutdown),
isu batas utang, dan isu pengurangan stimulus moneter oleh the Fed (tapering),
sempat mengguncang pasar finansial dunia di tahun 2013. Isu-isu ini masih akan
mengemuka di tahun 2014, dan akan turut meningkatkan ketidakpastian global di
tahun 2014. Walaupun demikian, sebagian besar ekonom memperkirakan kondisi
perekonomian global pada tahun 2014 akan sedikit lebih baik dari kondisi di
tahun 2013.
Pada tahun 2013 Indonesia lebih
merasakan dampak kelesuan ekonomi global dibandingkan dengan pada tahun-tahun
sebelumnya. Sepanjang tahun 2013 perekonomian Indonesia terus-menerus mengalami
perlambatan. Dengan prospek ekonomi global yang lebih baik di tahun 2014,
seharusnya Indonesia pun dapat tumbuh lebih cepat. Akan tetapi, kendala-kendala
yang kita hadapi saat ini, yang akan terus berlangsung di 2014, akan
menyulitkan perekonomian Indonesia untuk tumbuh dengan laju yang lebih cepat.
1.5 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah ini Prediksi Perekonomian Indonesia Tahun 2014 pada teori ekonomi
yaitu
:
1.
Bagaimana
Keadaan variabel ekonomi makro tahun 2014 pada Tingkat inflasi ,suku
bunga,nilai tukar rupiah ,prospek fiskal ini terjadi .......?
2.
Bagaimana
tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2014......?
3.
Bagaimana
reaksi Ekonomi yang terjadi........?
4. Bagaimana sistem keuangan ekonomi
dan syariah .......?
5. Bagaimana perkembangan sektoral
yang terjadi pada tahun 2014....?
1.6 Metodelogi Penelitian
Adapun metodelogi Penelitian yang kami gunakan yaitu
:
1.6.1 Jenis penelitian :
Studi kasus, yaitu jenis penelitian tentang subjek tertentu dimana
subjek tersebut terbatas. Dengan demikian kesimpulan yang diperoleh hanya
terbatas pada subjek yang diteliti.
1.6.2 subjek dan objek penelitian
1.
subjek
penelitian adalah orang yang akan bisa dimintai informasi atau orang
yang menjadi sumber penelitian. Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah
para ahli ekonomi
2. objek
penelitian yang di teliti disini adalah prediksi perekonomian indonesia tahun
2014
1.7 Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penulisan prediksi perekonomian indonesia tahun 2014 ini yaitu :
1.
Dapat
mengetahui Keadaan variabel ekonomi
makro tahun 2014 pada Tingkat inflasi ,suku bunga,nilai tukar rupiah ,prospek
fiskal ini terjadi .......?
2.
Dapat
mengetahui tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2014......?
3.
Dapat
mengetahui reaksi Ekonomi yang
terjadi........?
4. Dapat mengetahui sistem keuangan
ekonomi dan syariah .......?
5. Dapat mengetahui perkembangan
sektoral yang terjadi pada tahun 2014
Melalui makalah prediksi perekonomian indonesia
2014 ini di harapkan agar dapat memahami,menganalisa serta menjawab
masalah – masalah yang terjadi baik untuk mahasiswa/mahasiswi serta pihak yang
terlibat
BAB II
Prospek
Perekonomian Tahun 2014
2.1 perkembangan Ekonomi Global
2.1.1 Perekonomian amerika serikat : pemulihan
ekonomi yang lambat dan ketidakpastian
kebijakan
Kinerja perekonomian global di
tahun 2013 lebih lemah dari perkiraan semula. Lembaga-lembaga dunia, seperti
IMF dan World Bank, sampai merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi
dunia berkali-kali. Emerging economy, yang sempat diharapkan menjadi
mesin pertumbuhan ekonomi dunia menggantikan negara-negara maju, ternyata
mengalami perlambatan pertumbuhan yang cukup signifikan. Sementara
negara-negara maju tampak memperlihatkan perbaikan yang menjanjikan.
Di Asia, pertumbuhan ekonomi
China terus melambat. Pertumbuhan PDB China terus menurun pada semester
pertama 2013. Sebagian kalangan bahkan sempat mengatakan China sedang menuju hard
landing. Namun, pertumbuhan yang membaik pada triwulan ketiga 2013 menepis
skenario hard landing. Ekonomi China saat ini dianggap sudah stabil, dan
ke depan diperkirakan akan dapat tumbuh secara berkesinambungan, walaupun
dengan laju pertumbuhan yang relatif rendah untuk ukuran China. India pun
mengalami masalahnya sendiri. Ekonominya terus melambat. Nilai tukarnya pun
terus terpuruk. Negara-negara berkembang di belahan dunia lain pun tampak
mengalami perlambatan pertumbuhan juga. Brazil, misalnya, diperkirakan hanya
akan tumbuh 2,5 persen di tahun 2014. Sementara Meksiko diperkirakan akan
tumbuh dengan laju 1,2 persen.
Sebaliknya, ekonomi
negara-negara maju tampak mulai stabil dan bahkan menunjukkan prospek perbaikan
yang lebih menjanjikan. AS, misalnya, memperlihatkan tanda-tanda perekonomian
yang semakin baik. Keadaan ini bahkan sempat membuat the Fed berencana
melakukan tapering, yang sempat mengguncang pasar finansial dunia.
Jepang pun menunjukkan kinerja ekonominya yang cukup baik, didorong oleh
Abenomicsnya. Sementara itu, Eropa sudah memberi indikasi bahwa kawasan
tersebut sudah melewati titik terendah dari siklus penurunan ekonominya. Banyak
ekonom yang mengatakan Eropa sudah keluar dari resesi, dan akan mulai tumbuh
positif di tahun 2014.
Secara umum perekonomian global
mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi pada semester pertama tahun 2013.
Memasuki semester kedua, keadaan mulai berangsur-angsur membaik. Diperkirakan
hal ini akan berlangsung terus pada tahun 2014. Keadaan perekonomian global
pada tahun 2014 diperkirakan akan sedikit lebih baik dibandingkan dengan pada
Perekonomian
amerika serikat
Pemulihan
perekonomian Yang lambat dan ketidakpastian kebijakan
Pada tahun 2013 perekonomian AS
terus menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pada triwulan ketiga 2013 PDB AS
tumbuh 2,8 persen (annualized rate), lebih tinggi dari 2,5 persen pada
triwulan kedua 2013. Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga
didukung oleh pertumbuhan persediaan bisnis AS sebesar 0,8 persen, ekspor 0,3
persen dan belanja domestik sebesar 1,7 persen.
Untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi AS, the Fed telah menambah likuiditas di pasar melalui kebijakan Quantitative
Easing III (QE3). Hal ini dilakukan sejak September 2012 de-ngan membeli
obligasi pemerintah di pasar sekunder sebesar US$ 40 milyar per bulan, yang
kemudian naik menjadi US$ 85 milyar per bulan di bulan Desember 2012. Ketika
ada indikasi ekonomi AS sudah mulai membaik, timbul spekulasi bahwa the Fed
akan segera mengurangi jumlah uang yang diinjeksikannya ke dalam sistem
perekonomian, dengan cara mengurangi belanja obligasi pemerintah yang mereka
lakukan selama ini. Langkah ini dikenal dengan istilah tapering. Isu
tersebut sempat mengguncang pasar finansial dunia. Bursa saham global
terkoreksi tajam, dan hampir seluruh mata uang dunia melemah tehadap dolar AS.
Namun, pada akhirnya the Fed
menunda kebijakan tapering tersebut karena pertumbuhan ekonomi AS
dianggap belum cukup kuat. Kebijakan tapering tampaknya baru akan mulai
dilakukan setelah tingkat pengangguran AS turun ke 7 persen dan pertumbuhan
ekonomi sudah lebih berkesinambungan (di kisaran 3 persen selama beberapa
triwulan). Memang, perekonomian AS memiliki kinerja yang relatif lebih baik
dibandingkan dengan negara maju lainnya. Akan tetapi, melemahnya kegiatan
industri dan dampak dari government shutdown diperkirakan akan
memperlambat laju pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan keempat 2013. Artinya,
ekonomi AS masih membutuhkan bantuan stimulus dari sisi moneter, dan injeksi
uang yang masif ke perekonomian AS masih akan berlangsung, paling tidak hingga
triwulan pertama 2014.
Ke
depan, implementasi kebijakan tapering akan benar-benar ditentukan oleh
pergerakan ekonomi di sana. The Fed diperkirakan akan terus mencermati dampak
dari beberapa isu yang dapat memberikan dampak negatif terhadap perekomian AS.
Pertumbuhan ekonomi AS, misalnya, akan dipengaruhi oleh pemotongan anggaran
pemerintah. Seperti kita ketahui, pemerintah AS telah menerapkan pengetatan
kebijakan fiskalnya untuk mengatasi masalah utang mereka.
Hal
lain yang akan dimonitor dengan cermat oleh the Fed adalah masalah batas utang
peme-rintah AS. Batas utang (debt ceiling) sudah disetujui untuk
dinaikkan hingga menjadi US$ 16,699 triliun pada Oktober 2013. Namun,
persetujuan kenaikan batas utang tersebut hanya dapat membiayai belanja
pemerintah hingga pertengahan Januari 2014. Akibatnya, masalah batas utang ini
akan mengemuka kembali menjelang pertengahan Januari 2014, yang dapat
memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian AS dan dunia. Perlu
dikemukakan juga di sini bahwa rasio utang terhdap PDB pemerintah AS saat ini
sudah di atas 100 persen, yang membuat kondisi fiskal AS tidaklah terlalu baik.
Dengan keadaan seperti di atas, kebijakan suku bunga
stabil dan rendah (bunga acuan 0 – 25 bps), terkendalinya inflasi (dibawah 2
persen), serta menurunnya tingkat pengangguran (turun dari 8,1 persen pada
Agustus 2012, menjadi 7,3 persen di Agustus 2013) saja belum cukup untuk
mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Apalagi saat
ini masih ada indikasi bahwa pendapatan rumah tangga masih belum meningkat
secara signifikan, dan kepercayaan konsumen masih relatif lemah. Keadaan ini
membuat belanja rumah tangga di sana tidak dapat naik telalu kencang.
Pertumbuhan penjualan retail, mi-salnya bahkan mulai mengalami penurunan.
Pendeknya, bantuan stimulus dari sisi moneter masih diperlukan, paling tidak
dalam jangka pendek.
Pergantian Gubernur bank
sentral di AS sempat menimbulkan pertanyaan akan kesinam-bungan kebijakan QE
yang saat ini dilakukan. Kita sudah mengetahui bahwa pada 31 Januari 2014
Janet Yellen akan menggantikan Ben Bernanke sebagi Gubernur the Fed. Selama
menjabat sebagai wakil gubernur the Fed, Janet Yellen merupakan salah satu
pendukung komitmen the Fed untuk menjaga kebijakan QE yang saat ini
dilakukan.Yellen juga dikenal amat pro job (penurunan pengangguran).
Dengan latar belakang yang demikian, Janet Yellen diperkirakan akan meneruskan
kebijakan QE yang telah dilakukan oleh Ben Bernanke, sampai pertumbuhan ekonomi
di AS benar-benar berkesinambungan.
Stimulus moneter yang diberikan
oleh the Fed diperkirakan akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi AS ke
tingkat yang lebih tinggi. Perekonomian AS diperkirakan akan tumbuh dengan laju
sebesar 2,6 persen di tahun 2014, lebih cepat dari 1,6 persen di tahun 2013.
1.2.2 Perekonomian Jepang: Didorong Abenomics
Perekonomian Jepang menunjukkan
pertumbuhan yang kuat pada semester pertama 2013 (4,0 persen annualized rate
di triwulan pertama dan 3,7 persen di triwulan kedua), setelah tumbuh
dengan laju sebesar 2 persen pada tahun 2012. Penguatan yang terjadi pada
perekonomian Jepang adalah dampak dari Abenomics yang diluncurkan oleh
pemerintah Jepang. Seperti kita ketahui, Abenomics terdiri dari tiga matra
kebijakan yang diharapkan dapat menggairahkan kembali perekonomian Jepang,
yaitu fiskal stimulus yang masif; kebijakan moneter yang longgar dari bank
sentral Jepang; dan strategi pertumbuhan ekonomi untuk mendorong investasi
swasta. Target-target spesifik, antara lain, mencakup menaikkan target inflasi
hingga 2 persen, dan menaikkan defisit anggaran 2013 menjadi 11,5 persen dari
PDB.
Abenomics berdampak pada
pelemahan Yen yang amat signifikan. Sejak Abenomics diluncurkan, Yen sudah
mengalami pelemahan dari kisaran 75 – 80 Yen/USD ke kisaran 95-100 Yen/USD
(melemah sekitar 20 persen). Pelemahan Yen yang signifikan ini membuat produk
Jepang mengalami peningkatan daya saing di pasar internasional, maupun di pasar
Jepang sendiri. Akibatnya, timbul ekspektasi yang kuat bahwa ekonomi Jepang
akan dapat keluar dari kelesuan yang sudah terjadi puluhan tahun. Indeks harga
saham gabungan di Tokyo pun mengalami kenaikan yang amat signifikan.
Angka PDB Jepang di tahun 2013
memang menunjukkan bahwa Abenomics telah memberi dampak positif terhadap
perekonomian Jepang. Akibatnya, angka pengangguran di sana sudah turun dari
4.0 persen di 2012 menjadi 3,7 persen pada triwulan pertama 2013
Pada
tahun 2014 Jepang diperkirakan masih akan mempertahankan kebijakan agresifnya
untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Akibatnya, pertumbuhan
ekonomi Jepang pada tahun 2014 diperkirakan akan tumbuh dengan laju 1,6 persen.
1.2.3 Perekonomian Eropa: Sudah Melewati Titik
Terendah
Setelah mengalami pertumbuhan
negatif pada 0,7 persen tahun 2012, perekonomian Eropa kembali mengalami
kontraksi pada tahun 2013. Pada triwulan petama 2013 ekonomi Eropa tumbuh –1,07
persen YoY. Sepanjang tahun 2013 ekonomi Eropa diperkirakan akan mengalami
kontraksi sebesar 0,3 persen.
Eropa sudah mengeluarkan
berbagai upaya untuk mengeluarkan kawasan tersebut dari krisis. Pada
pertengahan tahun 2012 Gubernur ECB, Mario Draghi, mengeluarkan pernyataan
bahwa ECB akan mempertahankan eksistensi mata uang tunggal Euro, termasuk
dengan cara membeli surat utang negara Eropa. ECB juga lebih agresif dari
sebelumnya dalam upayanya mengembalikan pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa. Hal
ini terlihat dari kebijakannya menurunkan suku bunga acuan di sana, hingga
menjadi 0,25 persen pada bulan Nopember 2013, yang merupakan level terendah
sepanjang sejarah.
Langkah-langkah
tersebut dipandang amat positif oleh pasar, sehingga kepercayaan terhadap surat
utang negara-negara Eropa pulih secara berangsung-angsur. Akibatnya,
kekhawatiran terhadap ancaman hilangnya mata uang tunggal Euro, dan terhadap
bubarnya Uni Eropa turun secara drastis. Hal ini telah menciptakan stabilitas
terhadap pasar finansial di Eropa, sehingga sepanjang tahun 2013 kekhawatiran terhadap
merebaknya krisis utang di Eropa boleh dikatakan sudah hilang.
Relatif lebih stabilnya sistem
finansial di Eropa memberikan ruang terhadap ekonomi kawasan tersebut untuk
membaik. Walaupun secara keseluruhan negara di kawasan Uni Eropa masih
mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, sudah ada tanda-tanda ekonomi Eropa mulai
membaik. Pada triwulan kedua 2013 ekonomi Jerman tumbuh 0,9 persen. Sementara
itu, Spanyol mengalami kontraksi sebesar 1,2 persen pada triwulan ketiga 2013,
lebih baik dari kontraksi sebesar 1,6 persen pada triwulan sebelumnya. Italia
mengalami kontraksi ekonomi sebesar 2,0 persen pada triwulan ketiga 2013, lebih
baik dari kontraksi sebesar 2,3 persen pada triwulan kedua. Walaupun masih
negatif, terlihat tren yang kuat bahwa pertumbuhan negatifnya semakin kecil.
Selain itu, ada beberapa
indikasi lain yang memperkuat dugaan bahwa Eropa mungkin sudah melewati titik
terburuknya. Hal ini, antara lain, diperlihatkan oleh indikator ekonomi dini
Eropa yang terus meningkat akhir-akhir ini. Selain itu, Indeks Kepercayaan
Konsumen di sana juga terus mengalami peningkatan secara konsisten. Purchasing
Manager Index (PMI) Eropa juga sudah mengalami peningkatan, dan sempat naik
ke atas 50 (PMI di atas 50 menunjukkan adanya ekspansi ekonomi). Akan tetapi
PMI cenderung jatuh ke bawah 50 dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini
menunjukkan proses pemulihan ekonomi di Eropa masih belum cukup kuat, sehingga
kawasan tersebut masih memerlukan dukungan dari kebijakan moneternya. Wajar
saja bila ECB menurunkan bungan acuannya ke 0,25 persen, yang merupakan level
terendah sepanjang sejarah.
Dengan
latar belakang yang demikian, perekonomian Eropa diperkirakan masih akan terus
membaik dan bahkan dapat mencetak pertumbuhan positif di tahun 2014. Para
ekonom memperkirakan ekonomi Eropa akan tumbuh dengan laju 1,0 persen di tahun
2014
1.2.4 Perekonomian China: Mulai Stabil
Sejak tahun 2012 pertumbuhan
ekonomi China terus melambat. Pada tahun 2012 perekonomian China tumbuh dengan
laju 7,7 persen, terburuk dalam 23 tahun terakhir. Perlambatan tersebut
disebabkan oleh melemahnya permintaan global maupun domestik.
Perlambatan ekonomi China terus
berlanjut di tahun 2013. Mata uang Yuan yang mencapai rekor tertinggi pada Oktober
2013 menimbulkan kekhawatiran pelemahan daya saing ekspor China, yang
dikhawatirkan akan turut menekan pertumbuhan ekonomi China. Selain itu, tekanan
inflasi yang meningkat dikhawatirkan akan memicu kenaikan suku bunga acuan di
sana, sehingga pertumbuhan kredit akan melambat. Walaupun tampaknya suku bunga
acuan belum akan diubah hingga tahun depan, isu perlambatan ekspansi kredit
sempat menimbulkan kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan China.
Untungnya, pada triwulan ketiga
2013 ekonomi China mulai menunjukkan perbaikan. Ekonomi China tumbuh dengan
laju 7,8 persen pada triwulan tersebut, lebih tinggi dari dua triwulan
sebelumnya. Artinya, ekonomi China sudah mulai stabil, dan peluang China
mengalami hard landing semakin kecil. Karena itu, target pertumbuhan
ekonomi China di tahun 2013 sebesar 7,5 persen diperkirakan akan tercapai.
Tercapainya target pertumbuhan
tersebut tidak lepas dari kebijakan bank sentral China yang telah membiarkan
kredit perbankan China untuk tumbuh moderat, seperti yang terlihat dari suplai
uang (M2) yang tersedia melebihi 100 triliun Yuan (US$ 16,4 triliun), lebih
tinggi dari PDB nominal China. Namun, dengan perkiraan akan tercapainya target
pertumbuhan ekonomi 2013, pada triwulan keempat 2013 bank sentral China diperkirakan
akan menurunkan ekpansi kredit dari moderat menjadi lebih netral. Selain itu,
faktor lain yang mendorong bank sentral China memperlambat ekspansi kredit
adalah tingkat inflasi yang telah mencapai 3,1 persen di bulan September, dan
kondisi cuaca musim dingin yang berpotensi memicu kenaikan harga bahan bakar
dan makanan.
Perlu dikemukakan di sini bahwa
pertumbuhan PDB China utamanya didukung oleh investasi, yang mencapai lebih
dari setengah tingkat pertumbuhan PDB, disusul oleh konsumsi dan ekspor, dengan
pertumbuhan masing-masing sebesar 3,4 persen (YoY) dan 0,1 persen (YoY). Telalu
dominannya kontribusi investasi dalam pertumbuhan PDB telah memicu China untuk
merubah struktur ekonominya. Mereka berencana meningkatkan kontribusi konsumsi
dalam negeri terhadap perekonomian, yang saat ini berada di sekitar 46 persen
dari PDB. Hal ini dilakukan agar mesin pertumbuhan ekonominya lebih berimbang,
sehingga ekspansi ekonomi yang terjadi menjadi lebih berkesinambungan.
Dengan
keadaan seperti di atas, ekonomi China diperkirakan akan tumbuh dengan laju 7,4
persen di tahun 2014, sedikit lebih lambat dari perkiraan sebesar 7,6 persen di
tahun 2013.
1.2.5 Perekonomian India: Melambat Tajam
Perekonomian India terus
mengalami perlambatan sejak triwulan kedua 2010. PDB India pada triwulan kedua
tahun 2013 tumbuh sebesar 2,4 persen YoY (4,4 persen annualized rate).
Dengan pertumbuhan yang terjadi, tampaknya sulit bagi India untuk mencapai
target pertumbuhan sebesar 5,6 persen di tahun 2013. Tampaknya India masih
belum menemukan cara yang jitu untuk mengatasi masalah yang dihadapi
perekonomian mereka. Pertumbuhan ekonomi terus menurun dalam beberapa tahun
terakhir ini. Pada tahun 2010 ekonomi India tumbuh dengan laju 10,1 persen,
turun menjadi 6,8 persen di 2011, dan menjadi 5,1 persen di 2012.
Di tengah perlambatan ekonomi
yang terjadi saat ini, perekonomian India juga mengalami tekanan sentimen
negatif yang disebabkan oleh defisit transaksi berjalan. Impor yang jauh lebih
besar dari ekspor membuat neraca perdagangan India mengalami defisit. Besarnya
defisit cenderung membesar di tahun 2013 ini, antara lain disebabkan juga oleh
pembelian emas dari luar negeri untuk memenuhi permintaan pasar domestik. Pada
triwulan kedua 2013 defisit perdagangan India mencapai US$ 21,8 milar, naik
dari defisit sebesar US$ 18,2 milyar pada triwulan sebelumnya. Keadaan belum
tampak akan membaik pada semester kedua 2013, seperti yang diisyaratkan oleh
defisit pada bulan Oktober 2013 yang mencapai US$ 10,56 milyar, jauh lebih
tinggi dari US$ 6,7 milyar pada bulan September 2013.
Sementara itu, pelemahan mata
uang Rupee yang dianggap terlalu tajam telah memicu bank sentral India menaikan
suku bunga acuan menjadi 7,5 persen. Kebijakan tersebut dibarengi dengan
langkah-langkah untuk menekan tingkat inflasi. Selain itu, bank sentral juga
mengetatkan likuiditas di sistem finansial mereka, dan membatasi besarnya
investasi yang boleh dilakukan di luar negeri.
Namun, upaya India untuk
menekan angka inflasi tampaknya belum memberikan hasil se-perti yang
diharapkan. Tekanan inflasi cenderung meningkat. Hal ini terlihat dari angka inflasi
yang naik menjadi 9,84 persen di bulan September 2013, naik secara signfikan
dari 9,52 persen yang terjadi pada bulan sebelumnya. Kenaikan harga bahan bakar
di pasar global merupakan salah satu penyebab kenaikan harga bahan bakar dalam
negeri India, yang pada gilirannya telah memicu kenaikan tingkat inflasi di
sana.
Tampaknya India harus berbuat
lebih banyak lagi untuk mengeluarkan perekonomiannya dari tren perlambatan yang
terjadi. India, antara lain, perlu menarik invetasi asing. Untuk mendukung hal
tersebut tentunya India harus menyediakan infrastruktur yang mencukupi. Selain
itu, India juga harus melakukan transformasi ekonomi agar mesin pertumbuhan
ekonomi tidak terlalu didominasi oleh belanja rumah tangga semata. India harus
meningkatkan peran investasi yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi mereka. Pada dasarnya mesin pertumbuhan ekonomi harus dibuat lebih berimbang.
Walaupun demikian, ekonomi
India akan sedikit diuntungkan oleh kondisi global yang sedikit lebih baik
(utamanya AS dan Eropa). Di tahun 2014 perekonomian India diperkirakan akan
tumbuh 4,7 persen di 2014, sedikit lebih baik dari 4,4 persen di 2013.
1.2.6 Negara Berkembang, Negara BRICS Lainnya
Sama
halnya dengan China dan India, pertumbuhan ekonomi di negara-negara anggota
BRICS lainnya juga cenderung menurun. Jika pada tahun 2010 Brazil masih
bertumbuh 7,5 persen, maka pada tahun 2011 pertumbuhannya melambat menjadi 2,7
persen, dan terus melambat menjadi 0,9 persen pada tahun 2012, namun
diprediksikan sedikit meningkat menjadi 2,5 persen untuk tahun 2013 ini.
Kondisi yang sama terlihat di Rusia, dimana pada tahun 2010 yang lalu negara ini
bertumbuh 4,5 persen, dan kemudian menurun masing-masing menjadi 4,3 persen dan
3,4 persen pada tahun 2011 dan 2012. Dan untuk tahun 2013 ini, perekonomian
Rusia diprediksikan akan tumbuh semakin lambat menjadi 1,5 persen. Selanjutnya
Afrika Selatan yang bertumbuh 3,1 persen pada tahun 2010, pada tahun 2011
pertumbuhannya sedikit membaik menjadi 3,5 persen. Namun pada tahun 2012
pertumbuhannya kembali melambat menjadi 2,5 persen dan diprediksikan melambat
lagi menjadi 2,0 persen pada Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di
Brazil, Rusia dan Afrika Selatan disebabkan oleh beberapa faktor baik
eksternal maupun internal.
Adapun
faktor eksternal yang secara umum memperlambat pertumbuhan ekonomi ketiga
negara di atas antara lain adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi di kawasan
Eropa, Amerika Serikat maupun negara - negara konsumen utama komoditas seperti
China, Jepang dan India. Kondisi ini menyebabkan permintaan dan harga
komoditas menurun, sehingga kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi
ketiga negara tersebut juga menurun.
Penurunan
ekspor ini tidak hanya menurunkan kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan
ekonomi, namun juga menyebabkan menurunnya kinerja neraca berjalan (current
account balance) di ketiga negara tersebut. Di Brazil defisit neraca
berjalan (persen terhadap PDB) meningkat dari -2,1 persen tahun 2011 menjadi
-2,4 persen pada tahun 2012 dan diproyeksikan menjadi -3,4 persen tahun 2013.
Kondisi yang sama terjadi di Afrika Selatan, dimana defisit neraca berjalannya
memburuk dari -3,4 persen pada tahun 2011 menjadi -6,3 persen pada tahun 2012
dan diprediksikan masih tetap tinggi tahun 2013 ini (-6,1 persen). Sementara
itu Rusia masih mencatat neraca berjalan yang surplus, namun surplusnya semakin
menurun dari 5,1 persen tahun 2011 menjadi 3,7 persen tahun 2012 dan
diproyeksikan menurun lagi menjadi 2,9 persen pada tahun 2013 ini.
Penurunan
kinerja neraca berjalan di ketiga negara BRICS tersebut memicu sentimen negatif
terhadap nilai tukar mata uangnya, sehingga mengalami depresiasi yang
signifikan. Disam-ping itu rencana the Fed yang akan mengurangi stimulus
moneternya (tapering QE3) menyebabkan mata uang dolar Amerika menguat
terhadap hampir semua mata uang lainnya di dunia. Mata uang Brazil (Real)
melemah dari 1,86 Real per US$ pada akhir tahun 2011 menjadi 2,06 Real pada
akhir tahun 2012 dan 2,26 Real pada akhir September 2013 atau terdepresiasi
masing-masing 9,3 persen dan 10,0 persen dari periode yang sama tahun
sebelumnya. Mata uang Afrika Selatan (Rand) juga melemah dari 8,19 rand per US$
pada akhir tahun 2011 menjadi 8,61 Rand per US$ pada akhir tahun 2012
(terdepresiasi 4,9 persen), dan pada akhir September 2013 melemah menjadi 9,96
Rand per US$ atau terdepresiasi 17,1 persen dari tahun sebelumnya. Sementara
itu nilai tukar mata uang Rusia (Rubel) hanya sedikit mengalami pelemahan dari
31,52 Rubel per US$ pada bulan September 2012 menjadi 32,63 Rubel per US$ pada
bulan September 2013 atau terdepresiasi 3,4 persen.
Selain
mengalami penurunan kinerja ekspor dan neraca berjalan, Brazil dan Rusia juga
menghadapi peningkatan tekanan inflasi, sedangkan tekanan inflasi di Afrika
Selatan relatif terjaga. Kenaikan tekanan inflasi di Brazil terutama disebabkan
oleh jaringan infrastruktur yang kurang memadai sehingga biaya transportasi dan
distribusi menjadi mahal. Sedangkan kenaikan tekanan inflasi di Rusia terutama
disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan akibat gagal panen beberapa
komoditas tanaman bahan makanan.
Untuk meredam pelemahan kurs
dan sekaligus untuk mengendalikan laju inflasi yang mulai meningkat, otoritas
moneter di ketiga negara tersebut menjalankan kebijakan moneter yang relatif
ketat melalui kenaikan suku bunga acuan, yang diikuti oleh kenaikan suku bunga
simpanan
dan pinjaman. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan konsumsi dan investasi
melambat, sehingga kontribusi konsumsi dan investasi terhadap pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan juga semakin menurun. Jadi penurunan kinerja
pertumbuhan ekonomi di ketiga negara BRICS tersebut disebabkan oleh menurunnya
kinerja ekspor, konsumsi dan juga investasi.
Untuk tahun 2014 pertumbuhan
ekonomi negara-negara BRICS secara umum diperkirakan akan membaik dibandingkan
dengan tahun 2013. Perbaikan kinerja ekonomi negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Jepang dan Uni Eropa diperkirakan akan mendorong perbaikan kinerja
ekspornya. Disamping itu pertumbuhan konsumsi yang masih kuat diperkirakan juga
menjadi motor pertumbuhan ekonomi, khususnya di Rusia dan Afrika Selatan. Namun
masih tingginya tekanan inflasi di beberapa negara seperti Brazil menyebabkan
ruang untuk me-longgarkan kebijakan moneter menjadi terbatas. Untuk tahun 2014
pertumbuhan ekonomi Brazil diperkirakan 2,45 persen, melambat sedikit dari
prediksi tahun 2013. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Rusia dan Afrika Selatan
untuk tahun 2014 masing-masing diprediksikan 2,80 persen dan 2,90 persen, lebih
baik dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan yang dicapai tahun 2013 ini.
1.2.7 Perkembangan
dan Prospek Ekonomi ASEAN
Perekonomian
negara-negara ASEAN (dalam hal ini ASEAN-5) di tahun 2013 mengalami perlambatan
yang signifikan. Pada bulan Oktober 2013 IMF dalam publikasinya World
Economic Outlook (WEO) memperkirakan pertumbuhan ekonomi ASEAN tahun 2013
hanya akan mencapai 5,0 persen. Prediksi pertumbuhan tersebut jauh dibawah
pertumbuhan tahun 2012 yang mencapai 6,2 persen.
Perlambatan
pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN ini terutama disebabkan oleh menurunnya
kinerja perekonomian global, khususnya China, India dan Eropa yang merupakan
pasar utama ekspor negara-negara anggota ASEAN. Selain itu, untuk meredam
gejolak yang berasal dari perekonomian global, negara-negara ASEAN cenderung
menerapkan kebijakan moneter ketat. Akibatnya, pertumbuhan konsumsi dan
investasi negara-negara ASEAN juga melambat di tahun 2013.
Untuk tahun 2014,
pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN diproyeksikan akan meningkat menjadi
5,4 persen. Adapun komponen yang diperkirakan akan mengalami peningkatan
pertumbuhan yang siginfikan pada tahun 2014 mendatang adalah ekspor seiring
dengan perbaikan kondisi perekonomian global, khususnya Jepang, Amerika
Serikat, Eropa dan China. Untuk tahun 2014 ekspor negara-negara ASEAN
diperkirakan akan tumbuh 6,5 persen, meningkat dibandingkan dengan prediksi
pertumbuhan ekspor tahun ini yang hanya mencapai 4,4 persen.
Sementara
itu meskipun laju inflasi ASEAN diprediksikan tetap terjaga di sekitar 5
persen, namun isu tapering yang diprediksikan akan dilakukan the Fed
pada triwulan pertama tahun 2014, akan meningkatkan tekanan kepada bank sentral
di ASEAN untuk mengetatkan kebijakan moneternya untuk mencegah kemungkinan
terjadinya pelarian modal keluar negeri. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan
konsumsi dan investasi (khususnya investasi dalam negeri) tampaknya tidak akan
mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2014.
Pada tahun 2015 negara-negara
kawasan ASEAN akan mengimplementasikan Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA).
Implementasi Komunitas Ekonomi ASEAN ini di satu sisi memberikan pe-luang bagi
perdagangan dan investasi yang besar, karena berkurangnya hambatan-hambatan
tarif dan non tarif akan memberikan ruang bagi pertumbuhan perdagangan antar
negara anggota ASEAN. Namun di sisi lain, pembentukan komunitas ini dapat
menimbulkan ancaman tersendiri. Utamanya, kompetisi antar negara ASEAN dalam
perdagangan maupun investasi akan semakin ketat. Dunia usaha Indonesia harus
benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi KEA ini. Bila tidak, kita hanya
akan menjadi penonton di era perekonomian dunia yang semakin terintegrasi ini
2.2 Prospek Perekonomian 2014
1. Prediksi Beberapa Variabel Ekonomi Makro
Tahun 2014
·
Inflasi: Lebih Rendah
Laju inflasi pada tahun 2014
diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan dengan pada tahun 2013. Hal ini
disebabkan karena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi (sekitar 0,7 persen
untuk setiap kenaikan 10 persen harga rata-rata BBM bersubsidi) akan hilang
dari angka inflasi tahunan setelah satu tahun dari waktu harga BBM tersebut
dinaikkan. Seperti kita ketahui, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada
akhir bulan Juni 2013, sehingga inflasi tahunan kita naik tajam pada bulan Juli
2013 ke 8,61 persen. Artinya, pada bulan Juli 2014 inflasi tahunan akan turun
dengan signifikan. KEN memperkirakan pada bulan Juli 2014 inflasi tahunan akan
berada di bawah 5 persen dari sekitar 7 persen di bulan Juni 2014. Angka
inflasi ini akan bertahan pada level yang relatif rendah pada bulan-bulan
berikutnya
Angka
inflasi diprediksi akan berada pada level yang relatif rendah dengan asumsi
pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi di tahun 2014. Mengingat
tahun 2014 adalah tahun pemilihan umum, rasanya kebijakan menaikkan harga BBM
bersubsidi di tahun 2014 amat kecil peluangnya untuk terjadi. Dari APBN 2014
terlihat bahwa, paling tidak hingga saat ini, pemerintah belum mempunyai
rencana untuk menaikkan harga BBM tahun depan. Subsidi BBM tahun 2014
dianggarkan sebesar Rp 210,7 T, lebih tinggi dari anggaran tahun 2013 yang
mencapai Rp 199,9 T. Ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak berencana
menaikkan harga BBM bersubsidi, kecuali bila harga minyak mentah mengalami
kenaikan yang signifikan serta kurs rupiah terdepresiasi tajam.
Upaya-upaya
pemerintah untuk mengendalikan harga di tahun 2014 tampaknya akan memberi
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pada tahun 2013. Isu impor daging
sapi, kedelai, maupun produk holtikultura diperkirakan sudah dapat ditangani
dengan lebih baik, sehingga tekanan dari kenaikan harga pangan diperkirakan
akan cenderung lebih terkendali di tahun 2014. Kinerja tim pengendali inflasi
(TPI dan TPID) juga diperkirakan akan lebih efektif. Akibatnya, inflasi akan
cenderung kembali bergerak pada tren jangka panjangnya
Selain
itu, tekanan terhadap pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi juga cenderung
kecil, karena harga minyak dunia diperkirakan akan stabil di tahun 2014. US
Energy Information Administration (EIA) memperkirakan harga minyak akan
cenderung turun pada tahun 2014. Harga minyak West Texas Intermediate
diperkirakan akan turun menjadi US$ 94 per barel pada akhir tahun 2014. Angka
ini berada di bawah asumsi harga minyak dalam APBN 2014. Artinya, ada peluang
yang cukup besar bahwa pemerintah tidak harus merevisi APBN 2014 karena subsidi
BBM yang melonjak. Jadi, ruang untuk menjaga harga BBM pada level saat ini
terbuka cukup lebar.
Perlu
dikemukakan sekali lagi di sini bahwa outlook energi dunia untuk tahun 2014
keliha-tannya memang akan positif. Eksplorasi dan penemuan minyak di pantai
timur China akan mulai memasuki tahap produksi. Bohay Bay di China maupun Laut
China Selatan mempunyai potensi minyak dan shale gas yang sangat besar. Selain
itu, perusahaan-perusahaan minyak di Amerika juga lebih optimis terhadap
eksplorasi dan produksi minyaknya. Meksiko juga mempunyai potensi yang sangat
besar di sekitar teluk Meksiko, terutama karena didukung oleh adanya perubahan
undang-undang terkait. Ada sekitar 50 titik pemboran baru di teluk Meksiko.
Industri energi dunia juga akan diuntungkan oleh biaya eksplorasi yang akan
cen-derung menurun, utamanya karena biaya sewa rig yang lebih rendah.
Indonesia
akan mulai melirik ke tempat minyak dan gas yang jauh lebih besar. Penemuan gas
di Afrika (pantai timur Afrika) bisa menjadi sumber minyak bagi Indonesia
(Pertamina sudah mulai mengikuti beberapa proses tender).
Artinya,
peluang bagi harga minyak dunia untuk berada di level yang relatif rendah di
tahun 2014 memang terbuka lebar.
Dengan
keadaan yang demikian, inflasi di tahun 2014 akan cenderung turun dan berada di
kisaran 4,75 – 5,29 persen pada akhir tahun 2014
·
Suku Bunga: Walaupun Ada
Ruang, Mungkin Tidak Turun.
Untuk
mengendalikan stabilitas makro ekonomi Indonesia, Bank Indonesia masih menerapkan
bauran kebijakan, dimana bermacam faktor dipertimbangkan dan campuran kebijakan
diimplementasikan. Pada tahun 2013 pelemahan nilai tukar dan defisit transaksi
berjalan menjadi fokus utama BI dalam menjalankan kebijakan moneternya.
Walaupun demikian, inflasi juga masih menjadi acuan kebijakan BI.
Di
tahun 2014 tekanan inflasi akan lebih rendah dibandingkan dengan pada tahun
2013. Artinya, bila BI konsisten menjalankan kerangka kebijakan inflation
targetting seharusnya ada ruang untuk menurunkan suku bunga hingga 6 persen
(bila inflasi turun ke kisaran 5 persen seperti yang diperkirakan oleh KEN).
Akan tetapi, bila kita lihat kebijakan moneter yang dilakukan oleh BI
akhir-akhir ini, tampaknya BI rate tidak akan diturunkan hingga akhir 2014.
Saat ini BI lebih khawatir terhadap defisit transaksi berjalan, bukan terhadap
inflasi, bukan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan bukan terhadap angka
pengangguran. Pandangan bahwa satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas
ekonomi adalah menurunkan defisit transaksi berjalan tampak sudah mengakar
dalam di kepala para pimpinan otoritas moneter kita
Padahal
defisit transaksi berjalan belum akan hilang dalam waktu singkat, karena
ekonomi kita masih menarik bagi sebagian investor asing. Ketika investor asing
melakukan investasi di dalam negeri, mereka akan mengimpor barang modal dan
bahan baku untuk memulai aktivitas produksinya. Dengan kata lain, impor kita
akan tetap kuat, dan neraca perdagangan kita akan terus tertekan. Artinya,
defisit transaksi berjalan berpeluang untuk terus terjadi, selama ekonomi kita
masih ekspansi dengan baik dan selama investor masih tertarik untuk menanamkan
modalnya di negara kita.
Dengan
latar belakang yang demikian, BI diperkirakan akan mempertahankan BI rate pada
level 7,5 persen hingga akhir tahun 2014.
Data
historis menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia amat dipengaruhi oleh suku
bunga. Suku bunga yang tinggi cenderung akan memperlambat pertumbuhan ekonomi,
sedangkan suku bunga yang relatif rendah akan memberi ruang bagi ekonomi untuk
tumbuh lebih cepat. Biasanya ekonomi kita cenderung bisa tumbuh dengan relatif
lebih cepat ketika bunga acuan berada lebih rendah dari 6,5 persen. BI rate 7,5
persen bukanlah level yang membahayakan perekonomian kita, dalam pengertian
ekonomi tidak akan jatuh ke masa resesi dengan bunga pada tingkat tersebut.
Akan tetapi, daya dorong dari sisi moneter menjadi tidak cukup kuat untuk
menopang laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari saat ini. Artinya, di
tahun 2014 sulit bagi ekonomi kita untuk tumbuh dengan laju yang lebih cepat
dari yang terjadi di tahun 2013.
·
Nilai Tukar Rupiah:
Cenderung Stabil Lemah.
Ketika
the Fed diisukan akan melakukan tapering (pengurangan pembelian surat
utang ne-gara oleh bank sentral AS), pasar finansial dunia mengalami kepanikan.
Modal keluar dari emerging economies, termasuk Indonesia, kembali ke
tempat yang dianggap relatif aman, yaitu mata uang dolar atau aset-aset dalam
dolar. Akibatnya, hampir seluruh mata uang negara berkembang pun melemah
terhadap dolar AS. Rupiah pun mengalami tekanan yang amat signifikan.
Namun,
bila the Fed benar-benar melakukan tapering (yang diperkirakan akan
dilakukan pada tahun 2014) pasar lambat laun akan menyadari bahwa kebijakan
tesebut dilakukan karena fondasi pemulihan ekonomi di AS sudah semakin baik.
Artinya, fondasi perekonomian global pun akan membaik, karena AS masih
merupakan lokomotif utama perekonomian dunia. Akibatnya, kepercayaan investor
terhadap stabilitas perekonomian dunia akan membaik secara berangsur-angsur.
Dalam kedaan yang demikian mereka menjadi tidak terlalu takut untuk mengambil
risiko. Investor akan mencari peluang investasi yang memberikan imbal hasil
yang lebih tinggi. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan
prospek pertumbuhan tertinggi, ada peluang yang cukup besar aliran modal akan
masuk ke Indonesia juga.
Akan tetapi, karena neraca
transaksi berjalan diperkirakan masih akan defisit tahun depan, ditambah lagi
dengan ekonomi yang cenderung melambat, sebagian investor akan ragu menanamkan
modalnya di Indonesia. Memang, biasanya investor akan lebih tertarik untuk
menanam modal di tempat yang menawarkan pertumbuhan yang lebih tinggi.
Akibatnya, aliran modal asing yang masuk ke Indonesia diperkirakan belum cukup
kuat untuk membuat rupiah menguat secara signifikan.
Sebenarnya
ada faktor-faktor yang dapat menciptakan sentimen positif terhadap rupiah.
Salah satu diantaranya adalah laju inflasi yang relatif terkendali di tahun
2014. Selain itu, BI diperkirakan masih akan menjaga laju pertumbuhan uang
(melalui kebijakan moneter yang cenderung ketat) karena mereka berpandangan
bahwa Indonesia masih perlu memperlambat pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor ini
diperkirakan paling tidak dapat mencegah rupiah melemah terlalu signifikan dari
levelnya pada saat ini.
Dengan
latar belakang demikian, di tahun 2014 rupiah diperkirakan akan cenderung
stabil lemah, dan bergerak dengan nilai rata-rata pada 10.500 – 11.500 rupiah
per dolar
·
Prospek Fiskal: Daya Dorong Minimal
Daya
dorong kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi kita tahun depan dapat diperkirakan
dari struktur ABPN 2014. Pada tahun 2014 pendapatan negara diperkirakan akan
mencapai Rp.1.667,1 triliun, atau naik sebesar Rp. 165,1 triliun dari tahun
2013 (tumbuh 11,0 persen). Sementara itu pengeluaran pemerintah pada tahun 2014
direncanakan mencapai Rp.1.842,5 triliun. Dengan demikian defisit anggaran
tahun 2014 diperkirakan akan mencapai Rp. 175,4 triliun rupiah, atau 1,69
persen dari PDB Dari ukuran rasio defisit terhadap PDB tampak seolah anggaran
tahun 2014 cukup prudent dan berkesinambungan (batas maksimal defisit
angggaran yang masih dianggap berkesinambungan adalah 3 persen terhadap PDB).
Akan tetapi, ada ukuran lain yang digunakan oleh para ekonom untuk menilai
kesinambungan suatu anggaran, yaitu keseimbangan primer, dimana suatu anggaran
dianggap berkesinambungan apabila keseimbangan primernya di atas angka tertentu
(jauh lebih besar dari nol). Keseimbangan primer yang negatif menunjukkan bahwa
penda-patan pemerintah sudah lebih rendah dari pengeluarannya sebelum membayar
bunga utang.
Keseimbangan
primer yang negatif pada anggaran 2014 menunjukkan bahwa sebenarnya APBN 2014
dirancang tidak berkesinambungan.
Dalam
beberapa tahun terakhir pemerintah tampak mengajukan APBN dengan defisit keseimbangan
primer. Artinya, pemerintah merencanakan anggaran yang tidak berkesinambungan
dalam beberapa tahun terakhir ini. Memang, pada implementasinya keseimbangan
primer tidak selalu negatif. Hal ini terjadi terutama karena penyerapan
anggaran yang buruk. Jadi, sebenarnya kesinambungan anggaran kita diselamatkan
oleh ketidakmampuan kita membelanjakan anggaran. Ke depan, kelemahan ini harus
diperbaiki. Anggaran harus dirancang dengan keseimbangan primer yang surplus.
Pada saat yang bersamaan kemampuan pemerintah menyerap anggaran harus
diperbaiki. Apabila tidak diperbaiki, maka daya dorong APBN terhadap
pertumbuhan ekonomi menjadi kurang optimal.
Pada
sisi pendapatan, pendapatan pajak tahun 2014 direncanakan akan mencapai
Rp.1.280,4 triliun, naik cukup signifikan dari Rp. 1.148,5 triliun. Rasio
pendapatan pajak terhadap PDB mencapai 12,33 persen di tahun 2014. Angka ini
tidak jauh dari angka di tahun 2013, dimana rasio pendapatan pajak terhadap PDB
mencapai 12,2 persen. Artinya, tidak terjadi peningkatan yang cukup signifikan
terhadap efisiensi pengumpulan pajak kita. Ke depan, efisiensi pengumpulan
pajak harus diperbaiki lagi, agar keseimbangan primer kita membaik. Perlu
dikemukakan di sini bahwa negara-negara tetangga kita sudah mampu mengumpulkan
pajak dengan lebih efisien. Sebagai contoh, rasio pengumpulan pajak terhadap
PDB Malaysia mencapai 16,2 persen, Thailand 17,6 persen, dan Singapura 13,8
persen.
Dalam APBN 2014 belanja negara
mencapai Rp. 1.842.5 triliun, atau naik sebesar 6,7 persen dari Rp 1.726,2
triliun pada tahun 2013. Dengan asumsi laju inflasi sebesar 5,5 persen di tahun
2014, maka pertumbuhan belanja secara riil hanya sekitar 1,2 persen (dengan
menggunakan pendekatan sederhana, yaitu pertumbuhan nominalnya dikurangi oleh
inflasi). Artinya, dampak dari belanja fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
secara riil di tahun 2014 akan amat terbatas. Keadaan akan diperburuk lagi oleh
masalah penyerapan anggaran yang belum dapat diperbaiki dengan tuntas dalam
lima tahun terakhir ini.
Belanja
Pemerintah Pusat didominasi oleh belanja pegawai dan belanja subsidi. Belanja
pegawai di tahun 2014 mencapai Rp. 264,0 triliun (21,1 persen dari total
belanja pemerintah pusat). Sementara belanja subsidi mencapai Rp. 333,7
triliun (26,7 persen). Sementara itu, belanja barang mencapai Rp. 201,9 triliun
(16,2 persen) dan belanja modal mencapai Rp. 205,8 triliun (16,5 persen).
Dengan struktur belanja yang demikian, daya dorong APBN terhadap pertumbuhan
ekonomi akan tidak optimal. Di masa mendatang agar dampak kebijakan fiskal
terhadap perekonomian menjadi lebih signifikan, struktur APBN perlu diperbaiki
agar porsi belanja untuk pembangunan dapat ditingkatkan secara signifikan.
Secara
lebih spesifik dapat kita lihat bahwa alokasi anggaran untuk subsidi energi
mencapai Rp. 282,1 triliun (22,6 persen dari total belanja pemerintah). Selain
mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai program pembangunan, subsidi
energi ini sering dianggap tidak tepat sasaran, dan menimbulkan distorsi di
dalam perekonomian. Memang, relatif rendahnya harga BBM membantu daya saing
produsen kita. Akan tetapi, daya saing ini semu. Tanpa subsidi energi, daya
saing produsen kita tidak sebaik saat ini. Selain itu, subsidi BBM yang berlebihan
dan terus menerus membuat para pelaku ekonomi di Indonesia menjadi malas untuk
berinovasi menciptakan proses produksi yang lebih efisien. Artinya, subsidi
energi tidak menimbulkan insentif untuk menciptakan ekonomi yang lebih efisien
dan berdaya saing tinggi.
Sudah
saatnya pemerintah memikirkan dengan serius langkah-langkah untuk menghilangkan
subsidi BBM. Subsidi harus langsung diberikan kepada orang yang benar-benar
berhak mendapatkannya. Langkah ini akan membantu memperbaiki defisit
keseimbangan primer secara signifikan. Namun, langkah perubahan pola subsidi
tersebut harus dirancang dengan seksama agar tidak menimbulkan kejutan ekonomi,
sosial, dan politik yang berlebihan. Untuk mengoptimalkan daya dorong APBN
terhadap perekonomian, penghematan dari subsidi energi tersebut harus
dimanfaatkan untuk membiayai program-program pembangunan secara tepat sasaran
dan tepat waktu.
Selain
itu, penyerapan anggaran pemerintah harus terus ditingkatkan. Problem
penyerapan anggaran sudah terjadi sejak tahun 2008. Beberapa peraturan sudah
direvisi untuk memperbaiki penyerapan anggaran. Namun, dampaknya belum
terlihat secara signifikan. Akhir-akhir ini seolah-olah ada pembenaran terhadap
lambatnya penyerapan anggaran tersebut. Pemerintah merasa memang perekonomian
perlu agak direm (untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan), sehingga
upaya untuk meningkatkan penyerapan anggaran tampak me-ngendur. Ke depan
pemerintah harus tetap berupaya untuk meningkatkan penyerapan anggaran, agar
daya dukung fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan.
Perlu
ditegaskan lagi di sini bahwa banyaknya anggaran yang tersisa berarti juga
infrastruktur kita tidak dibangun secara optimal. Kurang optimalnya dukungan
infrastruktur dalam pembangunan ekonomi telah meningkatkan inefisiensi di
perekonomian kita. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya ICOR (Incremental
Capital Output Ratio) di perekonomian kita. ICOR, diterjemahkan secara
sederhana, memberi gambaran berapa persen investasi yang dibutuhkan (dalam
rasio terhadap PDB) untuk menciptakan satu persen pertumbuhan PDB. Semakin
besar ICOR semakin rendah efisiensi suatu perekonomian. ICOR 5, misalnya,
memberi indikasi bahwa diperlukan investasi sebesar 5 persen dari PDB untuk
menciptakan pertumbuhan PDB sebesar 1 persen.
ICOR
Indonesia terus mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, yang artinya
perekonomian kita semakin inefisien. Pada masa sebelum krisis ICOR kita berada
di kisaran 3,8 (periode 93-96). Pada tahun 2003 ICOR Indonesia sebesar 4,1, dan
pada tahun 2012 ICOR Indonesia sudah naik menjadi 5,3. Dan pada triwulan ketiga
tahun 2013 ICOR kita naik lagi menjadi 5,9. Artinya, untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen kita perlu melakukan investasi sebesar
sekitar 5,9 persen dari PDB kita. Jadi, perekonomian Indonesia sudah menjadi
lebih tidak efisien lagi.
Indonesia harus mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Efisiensi di perekonomian kita harus segera diperbaiki. Laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tanpa didukung oleh peningkatan efisiensi akan membuat
ekspansi ekonomi yang berlangsung menjadi tidak berkesinambung-an. Selain
pembangunan infrastruktur yang memadai, Indonesia juga harus terus meningkatkan
kinerja birokrasinya, agar efisiensi perekomian kita semakin baik. Reformasi
birokrasi harus dijalankan dengan sungguh-sungguh.
2. Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian
dunia diperkirakan akan relatif lebih stabil pada tahun 2014, bahkan ada kecenderungan
sedikit menguat. Sementara itu di sisi domestik, inflasi yang diperkirakan akan
semakin terkendali sebenarnya memberikan peluang kepada BI untuk menurunkan
suku bu-nga ke tingkat yang lebih rendah. Tapi bukan berarti secara otomatis
ekonomi Indonesia di tahun 2014 akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
pada tahun 2013.
Walaupun
lebih stabil, laju pertumbuhan ekonomi global belum cukup kuat untuk menaik-kan
ekspor Indonesia dengan terlalu signifikan. Sementara itu, Indonesia
diperkirakan masih akan mengalami tekanan sentimen negatif dari defisit
transaksi berjalan, yang diperkirakan masih akan terjadi pada tahun 2014 nanti.
Artinya, ada peluang yang cukup besar otoritas moneter kita akan menjalankan
kebijakan moneter yang cenderung ketat, BI rate tidak diturunkan. Pemerintah
pun diperkirakan akan menyelaraskan kebijakannya dengan kebijakan BI (tidak
akan terlalu agresif mendorong pertumbuhan ekonomi).
Dalam
keadaan yang demikian, pertumbuhan ekonomi 2014 akan cenderung lebih lambat
dari pertumbuhan pada tahun 2013 (skenario pesimis). Skenario yang lebih
pesimis tampaknya memiliki peluang yang lebih besar untuk terjadi. Jadi, dalam
prediksi pertumbuhan ekonomi 2014, KEN melihat bahwa dari kisaran prediksi yang
dikemukakan di sini, realisasinya akan lebih dekat ke batas bawah dari range
prediksi yang diberikan.
Perekonomian
Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan akan tumbuh dengan laju 5,5 - 6,0
persen. Pertumbuhan utamanya didukung oleh belanja rumah tangga, investasi
(Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB), dan ekspor. Sementara itu, kontribusi
belanja pemerintah diperkirakan masih akan sulit tumbuh dengan terlalu
signifikan.
Pada
tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan tidak jauh berbeda
de-ngan tren yang terjadi menjelang akhir tahun 2013. Ekonomi akan bergerak di
kisaran 5,5 persen hampir sepanjang tahun 2014 (skenario pesimis).
·
Belanja Rumah Tangga
Belanja
rumah tangga masih akan menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di
tahun 2014. Survey Kepercayaan Konsumen menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM
bersubsidi di akhir Juni 2013 tidak mengurangi daya beli masyarakat dengan
terlalu signifikan. Pada tahun 2014 daya beli masyarakat diperkirakan akan
tetap terpelihara dengan baik. Hal ini terutama didukung juga oleh relatif
lebih rendahnya tekanan inflasi pada tahun 2014. Walaupun demikian, kebijakan
BI yang cenderung ketat akan mempengaruhi pola belanja masyarakat. Aktivitas
pemilu diperkirakan belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan belanja rumah
tangga ke tingkat yang lebih tinggi sepanjang semester pertama 2014.
Pada
semester pertama 2014 pertumbuhan belanja masyarakat akan cenderung melambat,
dan terus melambat hingga 3,7 persen pada triwulan ketiga 2014. Akan tetapi,
turunnya angka inflasi pada bulan Juli 2014 akan meningkatkan kepercayaan
konsumen terhadap kondisi perekonomian mereka. Di samping itu, proses pemilu yang
diperkirakan sudah selesai pada triwulan ketiga akan semakin meningkatkan
kepercayaan konsumen terhadap prospek perekonomian dan masa depan mereka.
Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh proses pemi-lihan umum pun akan turun
dengan signifikan setelah triwulan ketiga 2014. Dengan keadaan yang demikian,
pertumbuhan belanja rumah tangga akan cenderung menguat pada triwulan keempat
2014, dimana belanja rumah tangga diperkirakan akan tumbuh dengan laju 4,6
persen.
·
Belanja Pemerintah
Dengan
defisit anggaran sebesar 1,7 persen dari PDB ada kesan bahwa belanja akan memberikan
dorongan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi seperti yang disebutkan
sebelumnya, pertumbuhan riil belanja pemerintah hanya mencapai sekitar 1,2
per-sen. Jadi tampaknya daya dorong belanja pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi masih akan kurang signifikan.
Keadaan
diperburuk lagi dengan masalah penyerapan anggaran yang tidak kunjung membaik.
Dampak kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh
kemampuan pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada dalam
mengimplementasikan anggarannya bila pada tahun 2014 pemerintah tidak berhasil
memperbaiki efisiensi penyerapan anggaran, maka belanja pemerintah hanya akan
tumbuh pada kisaran 2,7 persen - 3,5 persen.
Pertumbuhan
belanja pemerintah akan cenderung melambat hingga triwulan ketiga 2014.
Diperkirakan birokrasi kita akan disibukkan oleh masalah-masalah pemilu,
sehingga implementasi program-program pembangunan cenderung lambat. Namun,
pada triwulan keempat 2014, setelah proses pemilu memberikan hasil yang jelas,
fokus para penyelenggara negara akan membaik, sehingga pertumbuhan belanja
negara pada triwulan keempat akan sedikit membaik, tumbuh dengan laju tahunan
sekitar 3,8 persen pada triwulan tersebut.
Pada
tahun 2014, belanja pemerintah diperkirakan akan cenderung melambat hingga
tri-wulan ketiga, dimana belanja pemerintah diperkirakan akan mengalami
pertumbuhan negatif 1,9 persen. Pada triwulan keempat pertumbuhan belanja
pemerintah akan naik lagi menjadi 3,6 persen. Sepanjang tahun 2014 belanja
pemerintah akan tumbuh sebesar 2,7 persen, sedikit lebih lambat dari
pertumbuhan sebesar 3,2 persen di tahun 2013
·
Investasi
Investasi portfolio, sering
disebut dengan hot money, yang masuk ke Indonesia sejak tahun 2008
tumbuh cukup tinggi. Hal ini tercermin dari banyaknya dana asing yang masuk
dalam bentuk obligasi maupun saham yang jumlahnya mencapai kurang lebih 600
triliun rupiah. Meningkatnya dana asing yang masuk terutama dipicu oleh adanya
pengalihan dana yang dilakukan para investor dari negara maju ke negara emerging.
Hal ini terjadi terutama sejak terjadinya krisis global yang terjadi di Amerika
dan Eropa. Pada tahun 2004 jumlah investasi portofolio hanya sebesar 4.409 juta
dolar meningkat signifikan pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 10.336 juta dolar
dan 13.202 juta dolar
Derasnya
dana masuk memicu penguatan mata uang rupiah terhadap dolar, seperti yang juga
dialami oleh mata uang negara emerging lainnya. Rupiah bahkan sempat
menguat ke bawah 10.000 rupiah per dolar. Pada tahun 2010 mulai terjadi
perubahan dalam investasi yang masuk. Semula hanya portofolio yang mendominasi
aliran dana masuk. Namun, kemudian FDI juga meningkat pesat, dari 5.271 juta
dolar di tahun 2005, menjadi 11.528 juta dolar di tahun 2010 dan USD dan 14.310
juta dolar di tahun 2012
Sayangnya,
investasi FDI lebih banyak pada sektor-sektor yang padat modal seperti industri
farmasi dan sebagian sektor jasa, atau sektor primer yang berbasis padat modal.
Padahal FDI yang diharapkan adalah yang mampu menjadi motor penggerak ekonomi,
terutama pada sektor yang padat karya, mempunyai nilai tambah yang tinggi dan
berorientasi ekspor. Namun, sebagian besar FDI justru berorientasi pasar dalam
negeri. Selain FDI, ternyata PMDN (Penanaman Modal Dalam Negri) tidak kalah
dalam hal pertum-buhan. PMDN juga meningkat sejak tahun 2010. Namun
sektor-sektor yang diminati tidak jauh berbeda dengan FDI, yaitu yang berbasis
padat modal dan jasa. Akibatnya, angkatan kerja yang terserap pada sektor
industri tidak banyak mengalami perubahan, hanya berkisar di angka 15 juta
orang.
Komposisi FDI seperti saat ini
tidak akan dapat membantu memperbaiki struktur ekonomi kita, bahkan dapat
membuat neraca perdagangan kita lebih buruk mengingat ketergantu-ngan impor
dari sebagian sektor masih cukup tinggi (70 persen). Oleh karena itu, kebijakan
investasi perlu difokuskan untuk lebih memperbaiki struktur perekonomian
Indonesia. Untuk itu, perlu adanya insentif yang menarik, utamanya di
sektor-sektor yang padat karya, mempunyai nilai tambah yang tinggi dan
berorientasi ekspor. Selain itu, daftar negatif investasi harus disesuaikan
sedemikian rupa agar di masa mendatang investasi lebih mempunyai daya dukung
terhadap perbaikan struktur ekonomi Indonesia.
Kondisi
perekonomian global tampaknya sudah mencapai titik terendah pada tahun 2013.
Ada harapan pada tahun 2014 kondisi perekonomian global akan lebih stabil.
Dalam keadaan yang demikian, investor (baik portofolio maupun langsung) akan
menjadi lebih tidak risk averse. Mereka menjadi lebih berani mengambil
risiko. Artinya, akan ada investasi mengalir dari negara-negara maju ke negara emerging,
termasuk Indonesia. Indonesia masih amat menarik bagi investor asing, karena
memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan
dengan yang ditawarkan oleh negara-negara tetangga kita.
Dalam keadaan yang demikian,
investasi pada tahun 2014 akan cenderung lebih baik diban-dingkan dengan pada
tahun 2013. Sayangnya, kebijakan moneter yang masih diperkirakan akan ketat
akan sedikit memperlambat aktivitas investasi, utamanya yang berasal dari dalam
negeri.
Pertumbuhan
investasi di tahun 2014 akan terus meningkat secara berangsur-angsur. Pada
triwulan pertama 2014 pertumbuhan investasi diperkirakan akan mencapai 5,3
persen, dan meningkat menjadi 7,4 persen pada triwulan keempat 2014. Sepanjang
tahun 2014 investasi diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,3 persen, sedikit lebih
cepat dari 4,7 persen di tahun 2913.
·
Ekspor
Dengan
relatif lebih stabilnya perekonomian dunia di tahun 2014 dibandingkan dengan
pada tahun 2013, permintaan di pasar global pun akan cenderung membaik.
Walaupun perbaikannya belum terlalu kuat, tetapi sudah cukup untuk memberi
ruang kepada ekspor kita untuk tumbuh lebih cepat.
Ada
kalangan yang menyebutkan ekspor kita sulit tumbuh karena harga komoditas yang
cenderung turun. Akan tetapi, harga komoditas pada tahun 2014 akan relatif
stabil dengan kecenderungan meningkat, seiring dengan semakin membaiknya
kondisi perekonomian global. Permintaan akan komoditas di tahun 2014 juga akan
cenderung membaik.
Dengan
keadaan yang demikian, laju pertumbuhan ekspor di tahun 2014 diperkirakan akan
semakin membaik secara berangsur-angsur. Pada triwulan pertama 2014 ekspor
diperkirakan akan tumbuh dengan laju 5,2 persen, dan meningkat terus pada
triwulan-triwulan berikutnya. Pada triwulan keempat 2014 ekspor sudah tumbuh
dengan laju 7,7 persen. Sepanjang tahun 2014 ekspor kita akan tumbuh dengan
laju 6,6 persen, sedikit lebih cepat dari pertumbuhan sebesar 4,5 persen di
tahun 2013.
Prediksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sisi produksi sektoral tahun 2014 mengikuti
tren yang mirip dengan tahun 2013. Sektor industri manufaktur diperkirakan akan
bertumbuh sekitar 5,3 persen, hampir sama dengan laju pertumbuhannya di tahun
2013. Sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan bertumbuh pada
kisaran 6,4 persen per tahun, lebih tinggi dari laju pertumbuhannya di tahun
2013. Demikian pula dengan sektor transportasi dan komunikasi yang diperkirakan
akan bertumbuh relatif cepat yaitu dengan laju sekitar 10,6 persen. Sedangkan
sektor pertanian diperkirakan akan bertumbuh 2,8 per-sen per tahun, sedikit lebih
rendah dibandingkan laju pertumbuhannya tahun 2013. Relatif lebih rendahnya
pertumbuhan sektor pertanian tahun 2014 menyebabkan semakin beratnya upaya
untuk menurunkan angka kemiskinan, khususnya kemiskinan pedesaan.
3. Risiko Ekonomi Melambat Lebih Parah
Walaupun
untuk tahun 2014 ekonomi Indonesia diprediksi akan tumbuh dengan relatif cukup
baik, namun ada risiko yang perlu kita waspadai. Kekhawatiran terhadap defisit
transaksi berjalan telah membuat otoritas moneter kita cenderung memperketat
kebijakan moneternya. Hal ini dilakukan untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi
kita. Dengan ekonomi yang lebih lambat, maka impor akan cenderung turun.
Otoritas moneter juga tampaknya sengaja memperlemah nilai tukar. Rupiah yang
lemah dipercaya akan membuat daya saing produk kita di pasar dunia meningkat,
sehingga ekspor kita akan tumbuh dengan lebih baik. Dengan kebijakan yang
demikian BI mengharapkan defisit transaksi berjalan akan membaik.
Kebijakan bank sentral kita
tampak cukup berhasil memperlambat pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan ketiga
2013 laju pertumbuhan ekonomi sudah turun menjadi 5,62 persen. Akan tetapi,
kita perlu mewaspadai perkembangan yang terjadi. Perlambatan lebih lanjut dapat
membuat ekonomi Indonesia terperosok ke dalam masa resesi. Hal ini sudah mulai
diisyaratkan oleh Leading Economc Index (LEI) yang sudah melewati titik
tertingginya dan sulit naik dalam beberapa bulan terakhir. LEI adalah indeks
yang menunjukkan arah perekonomian 6 – 12 bulan ke depan. Memang, pada saat ini
LEI belum menunjukkan ekonomi kita sudah pasti akan memasuki masa resesi. Akan
tetapi, peluang hal tersebut akan semakin besar bila kita terus memperlambat
pertumbuhan ekonomi kita.
Sebagai
gambaran, suatu ekonomi memiliki siklus bisnis, yaitu suatu ekonomi memiliki
masa ekspansi, masa perlambatan, masa resesi, masa recovery, dan masa ekonomi
mengalami ekspansi lagi. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang, sehingga disebut
siklus bisnis.
Untuk
mendeteksi posisi ekonomi dalam siklus bisnis digunakan, antara lain, sequential
signaling method. Dalam metoda ini, bila signal P1 terdeteksi maka ekonomi
memasuki masa perlambatan, bila P2 terdeteksi berarti perlambatan yang terjadi
akan parah, dan bila P3 terdeteksi maka ekonomi tersebut sudah memasuki masa
resesi.
Ketika
ekonomi sedang dalam resesi, bila terdeteksi sinyal T1 maka perekonomian sudah
mencapai titik terendah, dan aktivitas ekonomi akan cenderung meningkat setelah
itu. Bila T2 terdeteksi, maka pemulihan yang terjadi cukup berkesinambungan,
dan bila T3 terdeteksi maka ekonomi sudah dalam fase ekspansi penuh.
Kita
sudah melihat bahwa pada saat ini ekonomi kita sudah melambat. Akan tetapi
perlambatan tersebut belum terdeteksi oleh sequential signaling method yang
digunakan oleh KEN. Artinya, masih ada harapan perekonomian kita untuk dapat
tumbuh dengan relatif baik. Akan tetapi, pendeteksian sinyal P1 (sinyal
perlambatan pertama) sudah amat dekat. Bila dalam bulan-bulan mendatang ekonomi
kita terus melambat, maka hampir dapat dipastikan bahwa sinyal P1 akan
terdeteksi. Artinya, ekonomi Indonesia akan memasuki masa perlambatan yang
berkesinambungan. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa bila P1 terdeteksi,
ekonomi kita akan cenderung terus melambat hingga memasuki masa resesi (seperti
yang terjadi di 1997 dan di 2008).
Dengan
latar belakang seperti di atas, Indonesia harus lebih berhati-hati memperlambat
pertumbuhan ekonominya. Kebijakan moneter yang relatif ketat saat ini sudah
cukup memperlambat pertumbuhan ekonomi. Memperlambat terus pertumbuhan ekonomi
akan membuka peluang yang lebih besar bagi ekonomi kita untuk memasuki masa
resesi.
Memperlambat
pertumbuhan ekonomi untuk memperbaiki kondisi transaksi berjalan mungkin
merupakan langkah yang pantas untuk ditempuh dalam jangka pendek. Akan tetapi,
kita tidak perlu memperlambat ekonomi hingga ekonominya jatuh ke masa resesi.
Kebijakan moneter (dan fiskal) harus lebih hati-hati diterapkan dalam
bulan-bulan mendatang dan sepanjang tahun 2014.
4. Prospek Ekonomi dan Keuangan Syariah 2014
·
Memaknai Ekonomi Syariah
Ekonomi
dan keuangan Syariah kini sudah menjadi komoditas global dan sudah diadopsi
oleh institusi multinasional dan berkembang di banyak negara barat dimana
Muslim adalah minoritas. Harus diakui bahwa selama beberapa dekade ekonomi
Syariah seringkali diasosiasikan hanya dengan segelintir kaum Muslimin yang
mencari alternatif lain dalam berbisnis. Lebih dari itu terminologi ekonomi
Syariah direduksi hanya kepada lembaga keuangan seperti bank, asuransi, gadai
dan pasar modal. Sementara sektor riil seperti industri makanan, manufaktur,
pertambangan, pariwisata, sinematografi, farmasi, kosmetik, busana dan aneka
industri jasa yang sangat luas dan beragam seolah tidak ada kaitannya dengan
ekonomi Syariah.
Akibat
kedangkalan pemahaman ini, ekonomi syariah menjadi kerdil bahkan dianggap
sebagai gerakan sektarian. Padahal ekonomi syariah merangkum seluruh kegiatan
komersial yang berbasis etika, transparansi, kejujuran dan semangat berbagi risk
and return. Ekonomi syariah adalah Mesin Ekonomi Kedua (second
economic engine) setelah ekonomi umum (conventional economy) yang
dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia.
Kehadiran
Ekonomi Syariah dibumi Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak datangnya
Islam itu sendiri, karena pokok-pokok hukum bisnis dan ekonomi sudah termaktub
dalam al Qur’an dan Hadist yang menjadi sumber hukum utama umat Islam. Namun
karena unsur penjajahan barat dan berbagai masalah sosial budaya lainnya suara
ekonomi Syariah baru terdengar dengan kehadiran Syarikat Dagang Islam pada
tahun 1911. Sungguh pun demikian prinsip Syariah sudah hadir dan dikenal lebih
lama di bumi pertiwi dengan istilah maparo, pertelu dan prinsip bagi
hasil rumah makan padang.
Kehadiran
Ekonomi Syariah mendapatkan momentum utamanya saat kelahiran Bank Muamalat
Indonesia sebagai Bank Umum Syariah pertama pada tahun 1992. Setelah dua dekade
berlalu pada tahun 2013 Indonesia memiliki 11 bank umum Syariah, 23 unit usaha
Syariah, 160 Bank Perkreditan Syariah, 3.143 kantor cabang dan office
channeling, dan 15.000.000 nasabah. Di sektor mikro dan kredit informal,
dengan 5000 lebih Baitul Mal wa Tamwil, Indonesia juga menjadi negara dengan
jumlah koperasi syariah terbesar di Dunia.
Dari unsur regulasi, Indonesia juga telah memiliki infrastruktur
yang cukup lengkap diban-dingkan beberapa negara anggota OKI lainnya. Hal ini
dengan telah hadirnya Undang-Undang Perbankan Syariah (2008) UU Sukuk atau
Surat Berharga Negara Syariah (2009) Tax neutrality produk-produk
keuangan Syariah (2009). Di sisi lain Dewan Syariah Nasional sebagai badan
otonom MUI dengan sangat aktif telah mengeluarkan tidak kurang dari 84 fatwa
produk keuangan dan ekonomi syariah yang mencakup berbagai aspek seperti
perbankan, asuransi, pasar modal, gadai, perdagangan dan jasa lainnya.
·
Proyeksi Industri Keuangan
Syariah 2014
Cakupan
industri keuangan syariah meliputi bank Syariah (bank umum syariah, unit usaha
syariah bank umum, serta BPR Syariah), asuransi syariah, gadai syariah,
reksadana syariah, multifinance syariah dan sukuk baik sukuk pemerintah
maupun korporasi.
Selain
itu di pasar saham juga terdapat Jakarta Islamic Index (JII) dan Daftar Efek
Syariah (DES) yang mengikutsertakan emiten-emiten yang memenuhi syarat usaha
yang sesuai tun-tunan syariah. Nilai kapitalisasi pasar saham yang tergabung
JII per Desember 2013 diprediksi sebesar Rp 1.973 triliun dari 302 emiten atau
sekitar 40 persen dari total kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia
Jika dilihat dalam konstalasi
global, nilai aset industri keuangan syariah di Indonesia tahun 2013 akan naik
24 persen dari tahun sebelumnya menjadi USD 27,7 Milyar dan diperkirakan akan
terus menaik sehingga pada tahun 2014 diproyeksikan sebesar USD 33,9 Milyar
atau naik 22 persen. Dengan perkembangan tersebut maka Islamic Finance Country
Index untuk Indonesia akan terus membaik menjadi no 5 tahun 2013 dan diharapkan
bisa menjadi no 4 pada tahun 2014.
Sementara
itu perkembangan perbankan syariah akan terus membaik karena pangsa pa-sarnya
dari total aset perbankan nasional terus meningkat dari 4,8 persen ke 5,1
persen dari tahun 2012 ke 2013 serta 5,1 persen ke 5,4 persen dari tahun 2013
ke 2014 dengan total nilai aset perbankan syariah mencapai Rp 295,0 triliun.
Saat ini perbankan Syariah tumbuh dengan kecepatan 38 persen berbanding
perbankan konvensional yang tumbuh 18 persen per tahun.
Jumlah
sukuk korporasi yang beredar untuk tahun 2013 diperkirakan berjumlah Rp 9,4
triliun atau naik 36 persen dari tahun sebelumnya, dan diprediksi akan meningkat
mencapai Rp 11,1 triliun pada akhir 2014. Untuk multifinance syariah setelah
tumbuh lebih dari 6 kali lipat dari 2011 ke 2012, maka posisi akhir tahun 2013
diperkirakan akan naik 34 persen dari tahun sebelumnya menjadi Rp 25,5 triliun
dan sampai akhir tahun 2014 total aset perusahaan pembiayaan ini diperkirakan
bisa tumbuh 25 persen menjadi Rp 32,0 triliun.
Pasar
asuransi syariah diperkirakan terus tumbuh dengan pesat seiring makin banyaknya
dilakukan spin off dari unit usaha syariah perusahaan asuransi
konvensional menjadi perusahaan asuransi syariah tersendiri. Paling tidak 5
besar perusahaan asuransi jiwa lokal yang memiliki UUS syariah sudah memiliki
rencana untuk spin off. Peningkatan berkisar antara 13 sampai 19 persen
dengan total pengumpulan premi Rp 17,7 triliun di akhir tahun 2014.
Gambar 53.
Pangsa Pasar Keuangan Syariah Berdasaran Jenisnya (Rp Triliun persen
Ekspansi
pegadaian syariah yang terus berjalan, diharapkan bisa meningkatkan volume
bisnis dari Rp 2,6 triliun menjadi Rp 3,3 triliun di akhir tahun 2013 dan
menjadi Rp 4,0 triliun di akhir 2014. Seiring makin diminatinya produk
reksadana syariah, akhir tahun 2013 produk keuangan ini diharapkan bisa
meningkat sampai ke Rp 10,6 triliun dari Rp 8,1 triliun atau 31 persen dari
tahun sebelumnya. Tren kenaikan diharapkan terus berlanjut sehingga akhir tahun
2014 bisa bertumbuh sampai ke Rp 13,1 triliun.
·
Indonesia Pusat Keuangan
Syariah Dunia
Dengan
memperhatikan perkembangan diatas, Indonesia mempunyai potensi untuk bisa
memposisikan diri sebagai pusat keuangan Syariah Dunia. Kita mempunyai modal
yang kuat untuk mewujudkan hal tersebut, karena disamping Indonesia adalah
Negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga adalah anggota G-20 dan Negara
dengan penduduk ke 5 terbesar dunia yang memiliki middle income yang
tumbuh pesat. Ekonomi dan keuangan Syariah bisa memberi kontribusi yang amat
signifikan dalam mengangkat kualitas ekonomi Indonesia
2.3 Perkembangan Sektoral
·
Sector retail konsumsi
Pada
periode Januari 2013 hingga Mei 2013, saham-saham perusahaan retail dan
konsumsi masih diminati investor, terlihat dari meningkatnya indeks harga saham
di sektor tersebut dari 1,590.6 pada bulan Januari 2013 menjadi 2,140.0 pada
bulan Mei 2013. Pelaku pasar tampaknya masih optimis terhadap kinerja produsen
barang-barang konsumsi dan retail sehingga indeks harga saham di sektor
tersebut meningkat sebesar 34,5 persen dari awal tahun hingga bulan Mei 2013.
Namun sejak bulan Juni 2013, harga-harga saham di sektor tersebut mulai menurun
hingga indeksnya mencapai 1.892,5 pada bulan Oktober 2013. Namun secara
keseluruhan, indeks harga saham di sektor retail dan konsumsi masih meningkat
sebesar 19 persen dari awal tahun hingga bulan Oktober 2013.
Masih meningkatnya saham-saham
perusahaan retail dan konsumsi di tahun 2013 tidak terlepas dari ekspektasi
investor terhadap prospek konsumsi domestik yang masih kuat. Kuatnya permintaan
domestik Indonesia dapat terlihat, antara lain, dari PDB sektor perdagangan
yang menunjukkan peningkatan pada tahun 2013. Sampai dengan triwulan ketiga
tahun 2013, sektor perdagangan berhasil mencatat kenaikan sebesar 22,4 trilyun
dari 244,3 trilyun rupiah pada triwulan pertama tahun 2013 menjadi 266,8
trilyun rupiah pada triwulan ketiga. Walaupun demikian, dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, kenaikan ini relatif masih lebih rendah sehingga pertumbuhan
rata-rata tahunan sampai triwulan ke 3 tahun 2013 hanya mencapai 6,4 persen
atau turun dari 8,7 persen di tahun 2012. Menjelang akhir tahun 2013,
pertumbuhan sektor perdagangan diperkirakan akan membaik kembali sehingga
sektor perdagangan diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,1 persen pada tahun 2013.
Daya
beli masyarakat yang relatif kuat juga masih mendukung pertumbuhan di sektor
perdagangan. Daya beli masyarakat yang relatif kuat tersebut dapat dilihat
dari optimisme masyarakat yang berada pada level yang cukup baik. Indeks
Kepercayaan Konsumen (IKK) yang saat ini berada pada level yang relatif tinggi
memberikan indikasi bahwa konsumen merasa cukup optimis terhadap perkembangan
ekonomi nasional dan prospeknya di masa mendatang. Pada bulan Oktober 2013,
IKK menguat ke level 91,22 dari level 81,98 pada bulan Juli 2013. Level pada
bulan Juli tersebut merupakan level terendah sejak bulan Maret 2011 yang
disebabkan oleh sentimen negatif masyarakat terhadap kenaikan harga BBM di
bulan Juli 2013. Namun satu bulan setelah peristiwa tersebut, IKK telah pulih
kembali dan terus meningkat hingga saat ini. Ini berarti, optimisme konsumen
juga semakin meningkat
Masih
tingginya kecenderungan konsumen untuk belanja tersebut dapat dilihat dari
mening-katnya penjualan retail. Indeks penjualan retail masih mengalami
peningkatan sejak awal tahun 2013. Pada bulan Oktober 2013, indeks penjualan
retail telah mencapai 135,0 atau tumbuh sebesar 7,6 persen dari 125,5 pada
bulan Januari 2013. Bahkan pada bulan Juli 2013, indeks penjualan retail sempat
mencapai 158,0. Ini menunjukkan kecenderungan konsumen untuk belanja relatif
cukup tinggi.
Perlu dikemukakan di sini bahwa
kenaikan IKK tersebut juga menggambarkan konsumen le-bih yakin akan prospek
ekonomi dan pendapatan mereka ke depan. Dengan keadaan yang demikian, konsumen
akan terus merealisasikan rencana belanjanya dalam waktu dekat ini. Artinya, ke
depan kita masih akan melihat pertumbuhan angka penjualan dan belanja retail
yang signifikan.
·
Sektor Pertambangan
Indeks harga saham di sektor
pertambangan secara keseluruhan mengalami penurunan yang signifikan pada tahun
2013. Penurunan ini sejalan dengan melambatnya perekonomian dunia. Persentase
indeks di sektor pertambangan terhadap IHSG-pun mengalami penurunan dari 43,7
persen di bulan Januari 2013 menjadi 27,8 persen pada bulan Juli 2013. Walaupun
demikian, indeks ini mulai naik kembali sejak bulan Juli 2013 dari level 1282,5
menjadi level 1499,7 pada akhir bulan Oktober 2013. Sehingga secara
keseluruhan, indeks harga saham di sektor pertambangan turun sebesar 23,0
persen dari awal tahun hingga bulan Oktober 2013, atau menurun sebesar 21,1 persen
selama setahun terakhir.
Menurunnya harga-harga saham
perusahaan di sektor pertambangan tersebut tidak terlepas dari penurunan
harga-harga komoditas pertambangan di pasar internasional seiring dengan
melambatnya perekonomian dunia. Sejak awal tahun 2013, komoditas pertambangan
seperti aluminium, nikel, tembaga, dan timah putih menunjukkan penurunan yang
cukup signifikan. Harga nikel, misalnya, dari harga rata-rata sebesar 17.645
USD/ton pada bulan Januari 2013 turun menjadi 13.780 USD/ton pada bulan
September 2013. Harga nikel bahkan sempat mencapai 13.705 USD/ton pada bulan
Juli 2013. Contoh lainnya adalah harga aluminium yang menurun dari harga
rata-rata sebesar 2.038 USD/ton pada bulan Januari 2013 menjadi 1.760 USD/ton
pada bulan September 2013.
Sejak awal tahun 2013,
pertumbuhan PDB sektor pertambangan sudah menunjukkan penurunan dan bahkan
mencatat pertumbuhan negatif di triwulan kedua tahun 2013. Sampai dengan
pertengahan tahun 2013, sektor pertambangan mengalami rata-rata kontraksi
tahunan sebesar 0,3 persen. Ini merupakan penurunan yang sangat signifikan dari
rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 1,5 persen pada tahun 2012. Namun pada
paruh kedua tahun 2013, pertumbuhan sektor pertambangan diperkirakan akan
membaik seiring dengan membaiknya harga-harga komoditas pertambangan di pasar
internasional dan juga membaiknya ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia.
Keadaan ini dapat dilihat dari pertumbuhan tahunan PDB sektor pertambangan di
triwulan ke 3 yang meningkat menjadi 1,6 persen. Secara keseluruhan, sektor
pertambangan diperkirakan akan tumbuh sebesar 0,2 persen di tahun 2013.
Pada
tahun 2014, permintaan terhadap komoditas pertambangan diperkirakan tidak akan
meningkat tajam karena perekonomian global diperkirakan masih belum akan pulih
seperti sediakala. Permintaan komoditas pertambangan yang tidak terlalu tinggi
tersebut diperkirakan akan membuat harga komoditas pertambangan di pasar
internasional juga tidak ba-nyak mengalami peningkatan. Karena itu, kinerja
sektor pertambangan di Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan tidak akan banyak
mengalami perubahan.
Di sisi
lain, sektor pertambangan sering menghadapi kendala dalam masalah
ketidakpastian hukum dan penguasaan pihak asing dalam sektor tersebut.
Misalnya, perusahaan asing pemegang izin pertambangan migas mencapai 70 persen,
sedangkan dalam pertambangan batubara, bauksit, nikel dan timah, mencapai 75
persen. Bahkan, untuk pertambangan tembaga dan emas mencapai 85 persen. Selain
masalah tersebut di atas, sektor pertambangan juga menghadapi masalah reklamasi
pasca-tambang. Banyak perusahaan yang tidak membuat rencana reklamasi
pasca-tambang ataupun tidak menyetor dana jaminan reklamasi. Apabila tidak
segera diselesaikan, masalah tersebut dapat menghambat kinerja sektor
pertambangan di masa mendatang.
·
Sektor Perkebunan
Secara
keseluruhan, indeks harga saham di sektor perkebunan cenderung menurun sepanjang
tahun 2013. Melambatnya perekonomian dunia telah mempengaruhi kinerja ekspor
dan permintaan bahan baku dari sektor perkebunan sehingga kinerja indeks harga
saham di sektor perkebunan tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Dari
1.994,7 pada bulan Januari, indeks harga saham di sektor perkebunan sempat
turun ke 1.702,9 pada bulan Juli, namun kemudian naik kembali hingga mencapai
1.765,6 pada bulan Oktober 2013. Sehingga, dari awal tahun hingga bulan Oktober
2013, indeks harga saham di sektor perkebunan mengalami penurunan sebesar 11,5
persen. Persentase indeks di sektor perkebunan terhadap IHSG juga mengalami
penurunan dari 44,8 persen pada bulan Januari 2013 menjadi 39,1 persen pada
bulan Oktober 2013.
Menurunnya
kinerja perusahaan-perusahaan di sektor perkebunan sepanjang tahun 2013
tersebut juga tercermin pada pertumbuhan PDB sektor perkebunan yang mengalami
penurunan di tahun 2013. Sampai dengan triwulan ke 3 tahun 2013, sektor
perkebunan berhasil mencatat pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 3,3 persen,
atau turun dari pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 3,9 persen pada tahun
2012. Menjelang akhir tahun 2013, pertumbuhan sektor perkebunan diperkirakan
masih akan menurun sehingga secara keseluruhan sektor perkebunan diperkirakan
akan tumbuh sebesar 3,4 persen pada tahun 2013.
Menurunnya
harga-harga saham perusahaan di sektor perkebunan sepanjang tahun 2013 tersebut
juga tidak terlepas dari penurunan harga-harga komoditas ekspor perkebunan yang
mayoritas meliputi produk primer dan hasil olahan sederhana, seperti produk
minyak nabati, karet, kakao dan kopi. Sepanjang tahun 2013, harga sebagian
besar komoditas perkebunan menunjukkan penurunan. Sebagai contoh, indeks harga
komoditas kopi sudah menunjukkan penurunan sejak awal tahun 2013 dari indeks
harga rata-rata 170,6 pada bulan Januari menjadi 130,1 pada bulan Oktober 2013,
atau turun sebesar 23,7 persen. Sedangkan indeks harga kakao sempat mengalami
peningkatan dari indeks harga rata-rata 693.520,7 pada bulan Januari menjadi
562.923,4 pada bulan Oktober 2013, atau turun sebesar 18,8 persen dalam periode
Januari - Oktober tersebut.
BAB III
3.1 Pendapat :
Raka aldiwanto :
menurunnya nilai rupiah jelas sangat berpengaruh terhadap perekonomian
negara indonesia, karena jika nilai rupiah menurun negara indonesia akan
semakin terpuruk, sebab harga barang konsumsi akan naik sehingga daya upaya
masyarakat untuk membeli atau memenuhi kebutuhan hidupnya akan semakin menurun.
Bernardus Gustav L : Penurunan Nilai tukar Rupiah
terhadap dollar AS mempengaruhi ekonomi indonesia .Sebagai contoh , Indonesia
adalah negara importir jika nilai tukar rupiah lemah maka Indonesia harus
mengeluarkan uang lebih banyak . Menurunnya Nilai tukar rupiah yang lemah dapat
mempersulit Indonesia untuk membayar hutang kepada negara lain.
Dhika rana kusumah
: Ketika
nilai tukar rupiah melemah, maka yang biasanya mencolok terkena dampaknya adalah harga
komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi (bahan
baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor dipatok dengan mata uang
negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan jatuh, harga komoditi
impor akan naik.
Ilfan : Menurunnya nilai mata uang rupiah otomatis akan
mempengaruhi ke seluruh harga dari mulai kebutuhan pokok dll, sehingga membuat
masyarakat jadi harus menambah biaya untuk mencukupi kebutuhannya.
Rahmat : tata kelola suatu sistem pemerintahan yang terjadi
belakangan ini tak lepas dari suatu kebijakan yg telah dibuat dimana kebijakan
tersebut dapat mengurangi menurun nya nilai rupiah. Kebijakan demi kebijakan
pun telah yg terjadi saat ini masyarakat cenderung lebih menginvestasikan uang
nya ke dalam bentuk tabungan atau kendaraan mewah. Hal ini membuat pemerintah
harus mengambil sikap yang bijak. Seperti saja umum digunakan untuk mengurangi
menurun nya nilai rupiah dimana agar masyarakat ikut turut serta membantu
pemerintah mengurangi jumlah konsumsi yang menyebabkan menurun nya mata uang
dimana permintaan dimasyarakat lebih tinggi aakhirnya terjadi inflasi pada
negara tersebut karena kebutuhan yang tidak terpenuhi yang memnyebabkan nilai
rupiah anjlok .
Putra : meningkatnya biaya impor bahan bahan baku, tingkat
suku bunga dimana akan terjadi
meningkatnya nilai suku bunga perbankan yang akan berdampak pada perubahan
investasi di indonesia, terjadinya inflasi, meningkatnya harga harga secara
umum akibat konsumsi masyarakat yang meningkat dan berlebih hingga liquiditas
di pasar yang memicu konsumsi.
Arie Baskoro : Menurut Saya, Ketika nilai tukar
sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok terkena dampaknya adalah
harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi
(bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor dipatok dengan mata
uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan jatuh, harga komoditi
impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar
10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka
harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1,5
juta akan naik Rp150 ribu menjadi Rp1,65 juta.
3.2 Kesimpulan :
Jadi jelas sudah bahwa faktor menurunnya nilai tukar
rupiah sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara karena jika nilai
tukar rupiah melemah harga impor barang ke indonesia semakin tinggi dan
memungkinnkan akan ketidaksanggupan dalam membayar hutang-hutangnya kepada
negara lain. Sehingga jika tidak di perbaiki akan membuat indonesia terpuruk.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Prospek 2014
Angka inflasi diprediksi akan berada
pada level yang relatif rendah dengan asumsi pemerintah tidak akan menaikkan
harga BBM bersubsidi di tahun 2014. Diperkirakan inflasi di tahun 2014 akan
cenderung turun dan berada di kisaran 4,75 – 5,29 persen pada akhir tahun 2014.
BI
diperkirakan akan tetap mempertimbangkan defisit transaksi berjalan dalam
menentukan kebijakan moneternya. Mengingat kita masih akan mengalami defisit
neraca transaksi berjalan dan rupiah yang cenderung lemah, BI diperkirakan
akan mempertahankan BI rate pada level 7,5 persen hingga akhir tahun 2014.
Kebijakan moneter tidak mendukung pertumbuhan yang lebih cepat.
Neraca transaksi berjalan yang
diperkirakan masih akan defisit tahun depan, ditambah lagi dengan ekonomi yang
cenderung melambat, akan membuat sebagian investor ragu menanamkan modalnya di
Indonesia. Akibatnya, di tahun 2014 rupiah diperkirakan akan cende-rung stabil
lemah, dan bergerak dengan nilai rata-rata pada kisaran 10.500 – 11.500 rupiah
per dolar.
Belanja
Pemerintah dalam APBN 2014 hanya mengalami pertumbuhan riil sekitar 1,2 persen.
Artinya, dampak dari belanja fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi secara riil di
tahun 2014 akan amat terbatas. Keadaan akan diperburuk lagi oleh masalah
penyerapan anggaran yang belum membaik. Jadi, daya dorong fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi akan terbatas.
Pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi
Indonesia diperkirakan akan tidak jauh dengan tren yang terjadi menjelang akhir
tahun 2013. Ekonomi akan tumbuh dengan laju 5,5 persen di tahun 2014, lebih
lambat dari 5,7 persen di tahun 2013. .
Permintaan di pasar global pun akan
cenderung membaik di tahun 2014. Walaupun per-baikannya belum terlalu kuat,
tetapi sudah cukup untuk memberi ruang kepada ekspor kita untuk tumbuh lebih
cepat, dan membantu ekonomi kita untuk terus tumbuh.
4.2 Kritik dan
Saran
4.2.1 Kritik
Melemahnya pergerakan pasar saham yang terjadi di
indonesia pada tahun 2013 ini membuat
kapitalisasi pasar perusahaan – perusahaan besar di bursa efek turun dengan
signifikan seperti sepuluh perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di bursa
saham indonesia berasal Dari sektor konsumen otomotif telekumunikasi ,perbankan
infrastruktur dalam negreri dan semen hal ini disebabkan karena
1.
Kenaikan Harga
Pangan.
2. Ekonomi mengalami ketidakseimbangan eksternal dan internal (defisit
neraca berjalan dan inflasi).
3. Aliran modal masuk yang dapat berhenti secara mendadak dan bahkan terjadi
pemula-ngan modal portofolio
4. Kepercayaan terhadap rupiah yang masih lemah.
5. Pertumbuhan kredit yang melambat
4.2.1 Saran
Kebijakan
moneter yang lebih antisipatif dan prudent,sangan dibutuhkan termasuk dengan pemberlakuan pe-rangkat makro
prudential (misalnya loan to value ratio, debt to income ratio, dan GWM)
secara tepat.
Kebijakan
menaikkan suku bunga atau pengetatan moneter dapat juga dilakukan manakala
kebijakan yang bersifat fundamental oleh pemerintah tidak dapat berjalan dengan
efektif. Kebijakan ini pasti mengundang perdebatan, namun lebih baik mengambil
tindakan antisipatif dari pada terlambat. Dapun kebijakan yang kami berikan yaitu:.
.
1. Kebijakan untuk mengatasi tingginya inflasi dan ketidakseimbangan
internal
2. Pembentukan task force khusus dalam rangka menjawab persoalan
neraca Berjalan dalam jangka pendek
3. Pemberian insentif pajak bagi yang menanamkan kembali hasil profitnya di
Indonesia serta pemberian keringanan pajak bagi Swasta Indonesia yang membawa
kembali uangnya ke Indonesia
4. Kebijakan untuk memperbesar aliran investasi modal langsung (bukan
investasi portofolio).
5. Kebijakan mengurangi ketergantungan terhadap impor barang konsumsi dan
mi-nyak
6. Kebijakan yang berfokus untuk mendorong ekspor dan daya saing barang
manufaktur
DAFTAR
PUSTAKA
http://Coc/Prediksi
Perekonomian Amerika serikat /2014/1/5/pemulihan ekonomi yang lambat
dan ketidak pastian kebijaka
http://Coc/Prediksi
Perekonomian jepang /2014/1/5/di dorang abenomics
http://Coc/Prediksi
Perekonomian eropa /2014/1/5/sudah
melewati titikk rendah
http://Coc/Prediksi
Perekonomian china /2014/1/5/mulai
stabil
http://Coc/Prediksi
Perekonomian india /2014/1/5/melambat
tajam
http
://IMF/index perekonomian /neraca berjalan
http
://CEDC/ World ekonomi outlook
http://Blomberg.com
http://www.bank
indonesia.com/ Otoritas Jasa Keuangan
http://ken /Prediksi
perekonomian 2014
http://www.EIA.com
http://www.Kemenkeu.com
/apbn dan RAPBN /2014
http://www.BKPM.com
Http
://www.Dana Reksa Research Institute.com
http://www.STEI
_TAZKIA.com/perekonomian indonesia
Lampiran :
No comments:
Post a Comment