KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kepada Allah SWT, yang atas seizin-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Serikat Karyawan dan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)”. Kami menyadari makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,
sehingga kami berharap akan mendapat masukan dari semua pihak (dosen,
rekan-rekan dari kelompok lain, dan pembaca) guna perbaikan di masa-masa yang
akan datang. Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyampaikan ucapan
terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian
ini, khususnya kepada Ibu Anissah selaku dosen mata Kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia. Semoga apa yang telah kami kerjakan
dapat bermanfaat bagi pengembangan diri kami dan bagisiapa saja yang
membacanya.
Bekasi , 12 Oktober 2012
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ……………………………………………………..…………. 1
Daftar
Isi …………………………………………………………….………….. 2
Bab 1
. PENDAHULUAN …………………………………………………………… 3
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….
3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………... 3
1.3 Tujuan Masalah…………………………………………………………… 3
Bab 2
. Pembahasan …………………………………………………………….. 4
2.1 Pengertian Serikat Karyawan ……………………………………..…. 4
2.2 Tipe-tipe Serikat Karyawan ………………………………………… 5
2.3 Struktur Serikat Karyawan ………………………………………… 5
2.4 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ………………………………… 6
2.5 Jenis-Jenis PHK ………………………………………………………… 9
2.6 PHK Pada Kondisi Tidak Normal ( Tidak
Sukarela ) ………………… 10
2.7 Mekanisme dan Penyelesaian Perselisihan PHK ………………….12
Penyelesaian Perselisihan PHK …………………………………………. 13
2.8 KOMPENSASI PHK ………………………………………………………… 14
PENUTUP ………………………………………………………………………… 16
3.1
Kesimpulan ………………………………………………………………… 16
3.2
Saran ………………………………………………………………………...
16
REFERENSI ………………………………………………………………………… 17
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam
kegiatan ekonomi, ada beberapa hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan suatu perusahaan, diantaranya
adalah baiknya sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan. Para manajer
sangat sadar akan nilai investasi mereka dalam hal sumber daya manusia. Terbentuknya serikat karyawan
ini dikarenakan rasa ketidakpuasan karyawan terhadap berbagai kondisi
perusahaan. Hubungan ini meliputi negosiasi kontrak tertulis menyangkut gaji,
jam kerja, ketentuan kerja dan intepretasi serta pelaksanaan kontrak selama
jangka waktu berlakunya
Pemutusan
Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan
suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal
ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan
carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang
harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan sangat tidak terencana.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa
Definisi dari Serikat Karyawan?
2. Jelaskan Tipe-Tipe Serikat Karyawan?
3. Apa Definisi dari PHK?
4. Jelaskan
Mekanisme dan Penyelesaian PHK?
5. Bagaimana
bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui dengan jelas definisi dan jenis
- jenis dari Serikat Karyawan.
2. Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
3. Mengetahui
Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
4. Mengetahui
Mekanisme pemberian PHK kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang
akan timbul setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Serikat Karyawan
Serikat karyawan (labour union atau trade union) adalah organisasi
para pekerja yang dibentuk untuk mempromosikan atau menyatakan pendapat,
melindungi, dan memperbaiki, melalui kegiatan kolektif, kepentingan-kepentingan
sosial, ekonomi, dan politik para anggotanya. Kepentingan dominan yang
diperjuangkan serikat karyawan tersebut adalah kepentingan ekonomi. Dalam
bidang ini, berbagai keinginan dan permintaan akan kenaikan gaji atau upah,
pengurangan jam kerja dan perbaikan kondisi-kondisi kerja adalah beberapa
contoh kepentingan yang terpenting bagi serikat karyawan.
Kehadiran serikat kerja mengubah secara signifikan beberapa aktivitas
sumber daya manusia. Proses perekrutan, prosedur seleksi, tingkat upah,
kenaikan gaji, paket tunjangan, system keluhan, dan prosedur disiplin dapat
berubah secara drastis disebabkan oleh ketentuan perjanjian perundingan kerja
bersama (collective bargaining agreement). Tanpa kehadiran serikat pekerja,
perusahaan leluasa mengambil keputusan unilateral menyangkut gaji, jam kerja,
dan kondisi kerja. Keputusan ini dilakukan oleh perusahaan tanpa masukan atau
persetujuan dari kalangan karyawan. Karyawan-karyawan yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja harus menerima persyaratan manajemen, menegosiasikannya
dengan serikat pekerja dalam hal pengambilan keputusan bilateral (bilateral
decision making) mengenai tingkat gaji, jam kerja, kondisi kerja, dan masalah
keamanan kerja lainnya.
Alih-alih menghadapi setiap karyawan secara satu per satu, perusahaan
harus berunding dengan seriakat pekerja yang mewakili kalangan pekerja.Serikat
pekerja biasanya mencoba memperluas pengaruhnya ke dalam wilayah lain manajemen
seperti penjadwalan kerja, penyusunan standar kerja, desain ulang pekerjaan,
dan pengenalan peralatan dan metode baru. Perusahaan umumnya juga menolak pelanggaran batas ke dalam wilayah
pengambilan keputusan ini dengan mengklaim bahwa persoalan tersebut merupakan
hak prerogatif manajemen.
2.2. Tipe-Tipe Serikat Karyawan
A. Craft Unions , Yaitu serikat
karyawan yang anggotanya terdiri dari para karyawan atau pekerja yang mempunyai
ketrampilan yang sama, seperti misal tukang-tukang kayu, tukang batu, dsb.
B. Industrial Unions , Yaitu serikat karyawan yang dibentuk
berdasar lokasi pekerjaan yang sama. Serikat ini terdiri dari para pekerja yang
tidak berketrampilan (unskilled) maupun yang berketrampilan (skilled) yang ada
dalam suatu perusahaan atau industri tertentu tanpa memperhatikan sifat
pekerjaan mereka.
C. Mixed Unions , Yaitu serikat karyawan yang mencakup para pekerja terampil, tidak
terampil dan setengah terampil dari suatu lokal tertentu tidak memandang dari
industri mana. Bentuk serikat karyawan ini mengkombinasikan antara craft unions
dan industrial unions.
2.3. Struktur Serikat Karyawan
2.3. Struktur Serikat Karyawan
Pada umumnya karyawan akan kehilangan kontak langsung dengan pimpinan
atau pemilik perusahaan dengan semakin berkembangnya perusahaan tersebut.
Kedaan ini menyababkan munculnya serikat-serikat karyawan untuk membantu para
pekerja mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut pekerjaaan mereka.
Melalui serikat karyawan, para pekerja dapat berupaya untuk mengendalikan
“pekerjaan-pekerjaan” dan “lingkungan kerja” mereka.
Serikat karyawan local (local unions) merupakan bentuk basis organisasi buruh, dan bagian yang paling penting dari struktur serikat karyawan. Serikat karyawan lokal memberikan kepada para anggota “revenue” dan kekuatan penggerakan serikat secara keseluruhan. Serikat lokal ini sering disebut serikat buruh cabang. Selanjutnya, serikat karyawan berbagai cabang bergabubg dan membentuk serikat karyawan nasional (national unions).
Serikat karyawan local (local unions) merupakan bentuk basis organisasi buruh, dan bagian yang paling penting dari struktur serikat karyawan. Serikat karyawan lokal memberikan kepada para anggota “revenue” dan kekuatan penggerakan serikat secara keseluruhan. Serikat lokal ini sering disebut serikat buruh cabang. Selanjutnya, serikat karyawan berbagai cabang bergabubg dan membentuk serikat karyawan nasional (national unions).
Tugas serikat nasional ini adalah untuk mewakili karyawan dalam
penyelesaiaan masalah-masalah yang kepentingannya bersifat nasional. Disamping itu, beberapa serikat karyawan
bisa membentuk organisasi karyawan di tingkat daerah. Gabungan berbagai serikat
karyawan di suatu daerah disebut serikat karyawan regional. Alasan yang
mendasari terbentuknya serikat regional bisa merupakan persamaan kepentingan,
keunikan masalah-masalah hubungan perburuhan secara geografis, jauhnya jarak
antara serikat karyawan suatu cabang dengan cabang lain, atau sebab-sebab
lainnya.
2.4 PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
PHK
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita
mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak
perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK
memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang
diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat
terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian
dipecat.
Menurut
Tulus (1993:167), pemutusan hubungan kerja (separation) adalah mengembalikan
karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada umumnya belum
meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu perusahaan
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang timbul
akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja. Menurut Hasibuan (2001: 205), pemberhentian adalah
pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan. Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin
juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan
dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada
penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui
hak mereka.
Sebelum
Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan
Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
Beberapa
alasan Pemutusan Hubungan Kerja :
• Undang-Undang
• Keinginan perusahaan
• Keinginan karyawan
• Pensiun
• Kontrak kerja berakhir
• Kesehatan karyawan
• Meninggal dunia
• Perusahaan dilikuidasi.
• Keinginan perusahaan
• Keinginan karyawan
• Pensiun
• Kontrak kerja berakhir
• Kesehatan karyawan
• Meninggal dunia
• Perusahaan dilikuidasi.
Tulus (1993:167)
menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja terjadi kalau salah satu pihak atau
kedua belah pihak merasa rugi bilamana hubungan kerja tersebut dilanjutkan.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena:
1. kemauan karyawan,
2. kemauan perusahaan, atau
3. kemauan kedua belah pihak.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena:
1. kemauan karyawan,
2. kemauan perusahaan, atau
3. kemauan kedua belah pihak.
Alasan pemutusan hubungan kerja antara lain:
-ketidakjujuran,
-ketidakmampuan bekerja,
-malas,
-pemabok,
-ketidakpatuhan,
-kemangkiran, dan ketidakdisiplinan,
-usia lanjut,
-sakit-sakitan terus menerus,
-kemunduran perusahaan,
dan sebagainya.
-ketidakjujuran,
-ketidakmampuan bekerja,
-malas,
-pemabok,
-ketidakpatuhan,
-kemangkiran, dan ketidakdisiplinan,
-usia lanjut,
-sakit-sakitan terus menerus,
-kemunduran perusahaan,
dan sebagainya.
Ad.1.: Undang-Undang
Undang-undang
dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu perusahaan,
misalnya karyawan anak-anak, karyawan WNA, atau karyawan yang terlibat
organisasi terlarang.
Ad.2.: Keinginan Perusahaan:
-karyawan tidak mampu
menyelesaikan pekerjaannya
-perilaku dan disiplinnya kurang baik
-melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan
-tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain
-melakukan tindakan amoral dalam perusahaan
-perilaku dan disiplinnya kurang baik
-melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan
-tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain
-melakukan tindakan amoral dalam perusahaan
Ad.3.: Keinginan karyawan
Pemberhentian atas
keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti dari
perusahaan tersebut. Pada umumnya karyawan mengajukan permohonan berhenti
karena beberapa alasan, antara lain:
-Pindah ke tempat lain
-Kesehatan yang kurang baik
-Untuk melanjutkan pendidikan
-Berwiraswasta
-Turnover karyawan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. jika banyak karyawan berhenti atas keinginan sendiri, maka manajemen perusahaan dapat dikatakan kurang baik dan perlu dilakukan instrospeksi diri dari manajer. (Hasibuan, 2001: 208-209).
-Pindah ke tempat lain
-Kesehatan yang kurang baik
-Untuk melanjutkan pendidikan
-Berwiraswasta
-Turnover karyawan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. jika banyak karyawan berhenti atas keinginan sendiri, maka manajemen perusahaan dapat dikatakan kurang baik dan perlu dilakukan instrospeksi diri dari manajer. (Hasibuan, 2001: 208-209).
Ad.4.: Pensiun
Pensiun
adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang, ataupun
keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempesiunkan karyawan karena
produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik,
kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan, dsb.
Ad.5.: Kontrak kerja berakhir
Pemberhentian
berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena
telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima.
Ad.6.: Kesehatan karyawan
Kesehatan
karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan. Inisiatif
pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan.
Ad.7.: Meninggal dunia
Karyawan
yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan perusahaan.
Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang
ditinggalkan sesuai dengan pearturan yang ada.
Ad.8.: Perusahaan dilikuidasi
Karyawan
akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut.
Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,
sedangkan karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan
pemerintah (Hasibuan, 2001: 2007-2009).
2.5 JENIS-JENIS PHK
1. PHK Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam
kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang
sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai
dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya
seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan
usahanya tersebut.
Akan
tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat
kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya.
Ketika seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa
pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala
atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap
untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa peran.
Kondisi
yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan
jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika seseorang
mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa
pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan
pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan
memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan
yang dirasakannya selama ini.
Selain
itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan
pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi.
Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain,
berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri,
karyawan harus memenuhi syarat : (a) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari
sebelumnya, (b) tidak ada ikatan dinas, (c) tetap melaksanakan kewajiban sampai
mengundurkan diri.
Undang-undang
melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan diri. Namun dalam
prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala,
pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik
bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga.
Di sisi lain perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila
perusahaan harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan
karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan
yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti
yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai
Pasal 156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat
perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara karyawan dan
perusahaan, terkait apakah karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari
uang pesangon dan penghargaan masa kerja.
2.6 PHK Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan
suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan
memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan
yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside
stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk
di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya
manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini
tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global,
perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu
produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah
jadi, sehingga mengancam proses produksi.
Manulang (1988)
mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa
pengertian, yaitu :
a. Termination : yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
b. Dismissal : yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
c. Redundancy : yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
d. Retrenchment : yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
a. Termination : yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
b. Dismissal : yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
c. Redundancy : yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
d. Retrenchment : yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan
pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Layoff : keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
b. Outplacement : ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
c. Discharge : Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.
a. Layoff : keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
b. Outplacement : ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
c. Discharge : Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.
Karyawan
yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan
lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan
hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik
penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak
memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan
keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu
mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan
kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk
efisiensi tenaga kerja.
2.7 MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK
• Mekanisme PHK
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran
diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan
Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
a. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
a. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
b. Karyawan mengajukan
permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada
indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c. Karyawan mencapai usia
pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
d. Karyawan meninggal
dunia.
e. Karyawan ditahan.
f. Pengusaha tidak
terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan
PHK. Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat
melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.
• Perselisihan PHK
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK
Mekanisme perselisihan PHK beragam
dan berjenjang.
1. Perundingan Bipartit
1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit
adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau serikatpe
kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam
penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian
perselisihan.
Dalam perundingan ini,
harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam
Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat
Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini
didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama
dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari
kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai
kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian
yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:
a. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:
a. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
3. Pengadilan
Hubungan Industrial
Pihak
yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya
didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap
kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima
permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain
mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili
jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan
hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
2.8 KOMPENSASI PHK
Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan
atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang
seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan
masa kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
• Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah.
• Masa kerja 1 – 2 tahun, 2 (dua) bulan upah.
• Masa kerja 2 – 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah.
• Masa kerja 3 – 4 tahun 4 (empat) bulan upah.
• Masa kerja 4 – 5 tahun 5 (lima) bulan upah.
• Masa kerja 5 – 6 tahun 6 (enam) bulan upah.
• Masa kerja 6 – 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah.
• Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
• Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah.
• Masa kerja 1 – 2 tahun, 2 (dua) bulan upah.
• Masa kerja 2 – 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah.
• Masa kerja 3 – 4 tahun 4 (empat) bulan upah.
• Masa kerja 4 – 5 tahun 5 (lima) bulan upah.
• Masa kerja 5 – 6 tahun 6 (enam) bulan upah.
• Masa kerja 6 – 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah.
• Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang
penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK
• Masa kerja 3 – 6 tahun 2 (dua) bulan upah.
• Masa kerja 6 – 9 tahun 3 (tiga) bulan upah.
• Masa kerja 9 – 12 tahun 4 (empat) bulan upah.
• Masa kerja 12 – 15 tahun 5 (lima) bulan upah.
• Masa kerja 15 – 18 tahun 6 (enam) bulan upah.
• Masa kerja 18 – 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• Masa kerja 21 – 24 tahun 8 (delapan) bulan upah.
• Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.
Masa Kerja UPMK
• Masa kerja 3 – 6 tahun 2 (dua) bulan upah.
• Masa kerja 6 – 9 tahun 3 (tiga) bulan upah.
• Masa kerja 9 – 12 tahun 4 (empat) bulan upah.
• Masa kerja 12 – 15 tahun 5 (lima) bulan upah.
• Masa kerja 15 – 18 tahun 6 (enam) bulan upah.
• Masa kerja 18 – 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• Masa kerja 21 – 24 tahun 8 (delapan) bulan upah.
• Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang
seharusnya diterima (UPH) meliputi :
• Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
• Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja.
• Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
• Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
• Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
• Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja.
• Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
• Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
BAB III
Penutup
Penutup
3.1 Kesimpulan
Serikat
karyawan (labour union atau trade union) adalah organisasi para pekerja yang
dibentuk untuk mempromosikan atau menyatakan pendapat, melindungi, dan
memperbaiki, melalui kegiatan kolektif, kepentingan-kepentingan sosial,
ekonomi, dan politik para anggotanya. Kehadiran serikat kerja ini mengubah
secara signifikan beberapa aktivitas sumber daya manusia. Hal ini disebabkan
oleh ketentuan perjanjian perundingan kerja bersama (collective bargaining
agreement).
PHK
sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal
nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri
negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha
menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan
yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke
Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di
negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada
dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di
masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi
penggelembungan yang sangat besar.
Ketika
tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya.
Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih
belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan
program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat
mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan
pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).
3.2 SARAN
Adapun saran yang dapat kami berikan dalam
makalah ini adalah, hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja harus
sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar
tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
REFERENSI
Moekijat. Manajemen Tenaga Kerjadaaan Hubungan Kerja.2003.CV Point Jaya: Bandung.
Grenshing L, Human. Resources Book: Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis.2008. Prenada Media Group: Jakarta.
Handoko, H. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. 2001. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta.
Strauss, G. MANAJEMEN PERSONALIA Segi Manusia dalam Organisasi. 1990. IPPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta.
Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia. 2006. STIE YKPN: Jakarta Selatan.
Moekijat. Manajemen Tenaga Kerjadaaan Hubungan Kerja.2003.CV Point Jaya: Bandung.
Grenshing L, Human. Resources Book: Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis.2008. Prenada Media Group: Jakarta.
Handoko, H. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. 2001. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta.
Strauss, G. MANAJEMEN PERSONALIA Segi Manusia dalam Organisasi. 1990. IPPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta.
Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia. 2006. STIE YKPN: Jakarta Selatan.
Teknik penulisan makalah ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan
Penelitian.Universitas Negeri Malang (UM, 2007).
No comments:
Post a Comment