Tugas
Ekonomi koperasi
Di Buat
Oleh :
1.
Rachmat Suharjana ( 25211711 )
2EB20
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2012
Perkembangan koperasi
Perkembangan Koperasi di dalam
Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis
2.1 Fakta
Dalam
sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal
dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di
Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi
adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi
dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum
buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan
utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi
menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein,
1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di
dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak
munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju
(NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar
termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu
bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran
dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat diametral. Di NM
koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena
itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan
kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam
konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional.
Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan
masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam
kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan
pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran
antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik
oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan
(Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang
(UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai
peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk
departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam
negeri.
2.1.1 Di Tingkat Dunia
Menurut data dari
laporan tahunan 2006 dari International Co-operative Alliance (ICA, 2006), di
dunia ada sekitar 800 juta orang yang menjadi anggota koperasi. Diperkirakan
koperasi-koperasi di dunia secara total mengerjakan lebih dari 100 juta orang,
dan memberi jaminan kehidupan bagi sekitar 3 miliar orang. Sekitar 20% lebih dari jumlah koperasi yang ada
diciptakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Sebanyak 300 koperasi terbesar
di dunia (Global 300) berdasarkan nilai omset memiliki nilai aset sekitar 30-40
triliun dollar AS dan omset tahunan 963 miliar dollar AS. Dengan nilai ini, 300
koperasi tersebut sebagai satu kelompok menjadi ekonomi terkuat no 10 di dunia untuk periode 2004, setelah
Kanada, Spanyol, Italia, dan China, masing-masing pada posisi ke 9, 8,7,dan 6. Pada posisi teratas adalah AS, disusul oleh Jepang,
Jerman, Perancis dan Inggris. Menurut sektor, sebagian besar dari 300 koperasi
terbesar itu adalah koperasi-koperasi industri makanan dan pertanian, yakni
sekitar 32,6%, disusul oleh ritel (24,7%), dan keuangan/asuransi (21.8%).
Yang sangat menarik
dari laporan ini adalah bahwa sebagian besar dari 300 koperasi terbesar itu
berasal dari NM, terutama Amerika Utara, UE dan Jepang. Seperti yang dapat
dilihat di Tabel 1, dari NSB, hanya Korea yang masuk di dalam daftar 10 besar.
Masih menurut laporan ICA (2006) tersebut, lima (5) besar negara di mana
sumbangan dari koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) terbesar adalah
dari NM (Tabel 2).
Tabel 1: Sepuluh Besar Koperasi di
Dunia
No
|
Nama
|
Negara
|
Tahun didirikan
|
Omset (dollar AS)
|
Total aset (dollar AS)
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Zen-Noh
(National Federation of Agricultural Co-operatives)
Zenkyoren
Crédit
Agricole Group
Nationwide
Mutual Insurance Company
National
Agricultural Cooperative Federation (NACF)
Groupama
Migros
The
Co-operative Group
Edeka
Zentrale AG
Mondragon
Corporation
|
Jepang
Jepang
Perancis
AS
Korea
Perancis
Swis
Inggris
Jerman
Spanyol
|
1948
1951
1897
1925
1961
1899
1925
1863
1898
1956
|
53.898
46.680
32.914
23.711
22.669
21.651
17.779
16.556
15.986
14.155
|
14.951
398.218
1.235.161
157.314
177.102
86.657
14.746
31.215
4.656
25.164
|
Sumber:
ICA (2006)
Tabel 2: Lima Besar Negara dengan
Pangsa PDB terbesar dari Koperasi
Negara
|
Pangsa PDB (%)
|
Finlandia
Selandia
Baru
Swis
Belanda
Norwegia
|
16,1
13,9
11,0
10,2
9,0
|
Sumber: ICA (2006).
2.1.2 Eropa
Di
Eropa koperasi tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen
yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan ritel,
koperasi-koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan
ritel modern (Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di
negara-negara seperti Perancis, Austria, Finlandia dan Siprus, menurut data ICA
(1998a), pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar 1/3 dari total
bank yang ada. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni
"Credit Agricole" di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands. Kredit
sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya
sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan
adalah anggota potensial dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001). Suatu studi
dari Eurostat (2001) di tujuh negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari
koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen
di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss.
Di negara-negara Skandinavia, koperasi
menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu sejarah yang sangat panjang.
Di Norwegia, 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari jumlah populasi 4,5 juta orang)
adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 99% dari
produksi susu; koperasi-koperasi konsumen memegang 25% dari pasar;
koperasi-koperasi perikanan bertanggung jawab untuk 8,7% dari jumlah ekspor
ikan; dan koperasi-koperasi kehutanan bertanggung jawab untuk 76% dari produksi
kayu. Di Finlandia, koperasi S-Group punya 1.468.572 anggota yang mewakili 62%
dari jumlah rumah tangga di negara tersebut. Grup-grup koperasi dari Pellervo
bertanggung jawab untuk 74% dari produk-produk daging, 96% dari produk-produk
susu, 50% dari produksi telor, 34% dari produk-produk kehutanan, dan menangani
sekitar 34,2% dari jumlah deposito di bank-bank di negara tersebut. Pada tahun
1995, dua koperasinya yang masuk di dalam 20 koperasi pertanian terbesar di Uni
Eropa (UE) adalah Metsaliitto (kayu) dengan penghasilan 3.133 juta ecu dengan
117.783 anggota, dan Valio (produk-produk susu) dengan penghasilan 1.397 juta
ecu, 47 anggota dan 5.101 pekerja. Di Denmark, pada tahun 2004
koperasi-koperasi konsumen meguasai pasar 37% dan dua koperasi pertaniannya,
yakni MD Foods (produk-produk susu) dan Danish Crown (daging) masuk 20 koperasi
pertanian terbesar di UE berdasarkan nilai omset pada tahun 1995. Pada tahun
itu, penghasilan MD Foods mencapai 1,681 miliar ecu dengan 8919 petani sebagai
anggota dan mengerjakan 3678 orang, sedangkan Danish Crown hampir mencapai
1,577 miliar ecu dengan 12560 orang anggota dan 6965 pekerja. Di Sweden, koperasi-koperasi konsumen
memegang 17,5% dari pasar pada tahun 2004, dan pada tahun 1995 satu koperasi
pertaniannya dari subsektor susu masuk 20 besar di EU, yakni Arla dengan omset
1,369 miliar ecu, anggota 10365 orang, dan mengerjakan 6020 orang.
Di Jerman, sekitar 20 juta orang (atau 1 dari
4 orang) adalah anggota koperasi, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 8106
unit telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian negara tersebut,
diantaranya menciptakan kesempatan kerja untuk 440 ribu orang. Salah satu sektor dimana koperasi sangat besar perannya
adalah perbankan. Misalnya, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting
peranannya, dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa. Pada tahun
1995, ada dua koperasi dari Jerman yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di
UE, yakni Baywa (fungsi multi) dengan penghasilan 3.542 juta ecu dan
mengerjakan 10794 orang, dan RHG (fungsi multi) dengan penghasilan 1.790 juta
ecu, 260 anggota, dan 2.946 pekerja.
Di Inggris,
diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota koperasi, dan pertanian
merupakan sektor di mana peran koperasi sangat besar. Sektor lainnya adalah
pariwisata. Biro perjalanan swasta terbesar di negara itu adalah sebuah
koperasi. Pada tahun 1995, Milk Marque, koperasi produk-produk susu, masuk 20
koperasi pertanian terbesar di UE, dengan omset mencapai 2.393.000.000 ecu,
dengan jumlah anggota tercatat sebanyak 18 ribu orang dan memberi kesempatan
kerja ke 300 orang. Sedangkan di Irlandia, koperasi-koperasi pertaniannya yang
juga masuk di dalam kelompok besar tersebut adalah The Irish Dairy Board
(jumlah anggota: 71), Avonmore (13245), dan Kerry Group (6000) yang semuanya di
bidang produksi susu dengan omset antara 1.463,3 juta ecu hingga 1.523,3 juta
ecu. Jumlah kesempatan kerja yang diciptakan oleh ketiga koperasi susu tersebut
mencapai antara 2010 hingga 6426 orang.[1]
Di Perancis jumlah
koperasi tercatat sebanyak 21 ribu unit yang memberi pekerjaan kepada 700 ribu
orang, sedangkan di Italia terdapat 70400 koperasi yang mengerjakan hampir 1
juta orang pada tahun 2005. Pada tahun 1995 berdasarkan omset tahunannya, tiga
koperasi di Perancis masuk 20 koperasi pertanian terbesar di EU, yakni Sodiaal
untuk produk-produk susu dengan omset hampir mencapai 2,6 miliar ecu, Socopa
untuk daging dengan 1,99 miliar ecu, dan UNCAA untuk input-input dan
produk-produk daging dengan omset 1.527.900 ribu ecu.
Belanda, walaupun
negaranya sangat kecil, tetapi koperasinya sangat maju. Salah satu adalah Rabo
Bank milik koperasi yang adalah bank ketiga terbesar dan konon bank ke 13
terbesar di dunia. Contoh lain adalah perdagangan bunga. Mayoritas perdagangan
bunga di negara ini digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para
petani setempat. Belanda juga punya banyak koperasi yang berkecimpung di sektor
pertanian yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Campina
Melkunie (produk-produk susu), Cebeco Handelsrand (input dan produksi pertanian),
Friesland Dairy Foods (produk-produk susu), Coberco (produk-produk susu),
Demeco (daging), dan Greenery/VTN (buah-buahan dan sayur-sayuran), dengan
penghasilan paling kecil 1,346 miliar ecu (VTN) hingga terbesar 3.1 miliar ecu
(Campina), jumlah anggota paling sedikit 50 orang (Cebeco) dan terbanyak 17850
orang (VTN) dan jumlah pekerja paling sedikit 3000 orang (Dumeco) dan terbanyak
7490 orang (Friesland). Di negara tetangganya Belgia, pada tahun 2001 tercatat
jumlah koperasi mencapai 29.933 unit, dan koperasi farmasinya memiliki pangsa
pasar sekitar 19,5%.
Di negara-negara
Eropa Timur, koperasi juga sangat maju. Misalnya, di Hongaria,
koperasi-koperasi konsumen bertanggung jawab terhadap 14,4% dari makanan
nasional dan penjualan-penjualan eceran umum pada tahun 2004. Di Polandia,
koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 75% dari produksi susu di dalam
negeri. Di Slovenia, koperasi-koperasi pertanian bertanggung jawab untuk 72%
dari produksi susu, 79% dari sapi, 45% dari gandum, dan 77% dari produksi
kentang. Di Slovakia, terdapat lebih dari 700 koperasi yang mengerjakan hampir
75 ribu orang.
2.1.3 Amerika Utara
Sementara itu, di AS 1
dari 4 orang (atau sekitar 25% dari jumlah pendudu) adalah anggota koperasi.
Lebih dari 30 koperasi punya penghasilan tahunan lebih dari 1 miliar dollar AS.
Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi kredit (credit union)
yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta orang dengan rata-rata jumlah
simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit
berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan
kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya
peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat (seperti juga
di Kanada) sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai “bank rakyat”,
yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula
(Mulyo, 2004). Selain di sektor kredit, koperasi di AS juga kuat di
sektor-sektor lainnya termasuk, industri, pertanian dan enerji. Sekitar 90%
lebih distribusi listrik desa di AS dikuasai oleh koperasi. Koperasi Sunkis di
California mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik
tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola
cukup membeli sunkis dari koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis
(Mutis, 2001).
Koperasi di AS
terutama sangat penting di pertanian. Data 2002 menunjukkan bahwa pada tahun
itu, ada sekitar 27 ribu lebih koperasi pertanian dengan sekitar 156,19 juta
petani sebagai anggotanya (banyak dari mereka menjadi anggota dari lebih dari 1
koperasi. Jumlah ini paling besar di antara kelompok NM. Koperasi di pertanian
terfokus pada kegiatan-kegiatan berikut ini: pemasaran produk-produk pertanian,
pemasokan bahan baku/input, dan yang terkait dengan pelayanan-pelayanan petani
lainnya. Mereka menguasai kurang lebih 28% hingga 30% pangsa pasar (Zeuli dan
Cropp, 2005).[2]Beberapa
koperasi pertanian yang sangat maju di AS adalah Agrilink,
Cenex Harvest States, Dairy Farmers of America, Farmland, dan Land O’ Lakes.
Pada
tahun 2002 jumlah koperasi di negara adi daya ini tercatat mencapai 48 ribu
unit di hampir semua jalur bisnis, memberikan pelayanan kepada 120 juta
anggota, atau sekitar 4 dari setiap 10 penduduk di negara tersebut. 100 koperasi terbesar di AS, diperingkat
menurut omset, secara individu menciptakan paling sedikit 346 juta dollar AS
dan dalam total mencapai 119 miliar dollar AS pada tahun tersebut (Zeuli dan Cropp,
2002) (Tabel 3).
Tabel 3: 100 Koperasi terbesar menurut
Omset dan Sektor Bisnis di AS, 2002
Sektor
|
Jumlah koperasi
|
Omset (juta dollar AS)
|
Pertanian
Perdagangan besar/Groseri
Keuangan
Komunikasi enerji
Peringkat keras dan lumber
Lainnya
|
41
18
12
16
6
7
|
58
26,1
10,2
9,7
8,8
6,5
|
Sumber: Zeuli dan Cropp (2002).
Menurut ICA, di Kanada 4 dari setiap 10 orang
(atau sekitar 33% dari jumlah populasinya) adalah anggota paling sedikit satu
koperasi. Koperasi (termasuk koperasi kredit atau credit union) mengerjakan lebih dari 160 ribu orang. Gerakan
koperasi the Desjardins (koperasi tabungan dan kredit) dengan lebih dari 5 juta
anggota adalah pencipta kesempatan kerja terbesar di Propinsi Québec. Di
propinsi ini sendiri, sekitar 70% dari jumlah penduduk adalah anggota koperasi,
dan di Saskatchewan sekitar 55% dari jumlah
populasinya.
Jumlah koperasi di negara tersebut mencapai
8800 unit yang mempekerjakan secara langsung 150 ribu orang. Di seluruh negara
itu, sebanyak 250 ribu produsen mandiri tergantung pada pemasaran dan produksi
koperasi untuk kehidupan mereka. Koperasi-koperasi di Kanada terutama sangat
penting di perdesaan dan wilayah-wilayah terpencil, dimana mereka memenuhi
kebutuhan produsen-produsen di pertanian, perikanan, kerajinan, dan manufaktur
lainnya. Di sektor pertanian, banyak koperasi mendirikan industri pupuk dan di
sektor pertambangan, banyak koperasi yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan
pengeboran minyak bumi. Banyak koperasinya yang memiliki pangsa yang cukup
besar di pasar global. Misalnya
koperasi-koperasi gula menguasai sekitar 35% dari produksi gula dunia.
Koperasi-koperasi
di Kanada memiliki aset dengan nilai lebih dari 20 miliar dollar Kanada, yang
dimiliki oleh anggota dan masyarakat yang dilayaninya. Koperasi-koperasi
non-keuangan menghasilkan omset mendekati 30 miliar dollar Kanada
rata-rata/tahun. Lima besar koperasi
non-keuangan di Kanada berdasarkan omset diperlihatkan di Tabel 4. Paling
tidak, 7 koperasi masuk di dalam 500 besar perusahaan-perusahaan Kanada, dan
sejumlah koperasi keuangan dinilai sebagai tempat terbaik untuk bekerja di
negara itu.
Hal yang sangat
menarik adalah bahwa, menurut suatu penelitian tahun 2001 yang dilakukan oleh
Menteri Industri dan Perdagangan Québec (dikutip dari ICA), tingkat survival jangka panjang dari
perusahaan-perusahaan koperasi hampir dua kali lipat dari perusahaan-perusahaan
non-koperasi.
Tabel 4: Lima Besar Koperasi
Non-Keuangan di Kanada berdasarkan Omset
Nama
|
Total Omset
|
Aset
|
Kegiatan Utama
|
||
2006
|
2005
|
($)
|
($)
|
||
1
|
1
|
Federated Co-operatives Limited.
|
5.413.759.000
|
2.682.699.000
|
Grosir, barang-barang
konsumen, penyulingan minyak, bahan-bahan bangunan
|
2
|
2
|
La Coop fédérée
|
3.175.543.749
|
1.004.006.000
|
Makanan, minyak,
bahan-bahan baku keperluan petani
|
3
|
3
|
Agropur Coopérative
|
2.284.117.000
|
845.342.000
|
Produk-produk makanan
seperti susu dll.
|
4
|
4
|
United Farmers of Alberta Co-operative Limited
|
1.624.058.000
|
549.361.000
|
Minyak, bahan-bahan
kebutuhan produksi pertanian/petani, bahan-bahan bangunan
|
5
|
5
|
Calgary Co-op Assn Ltd. (Alta.)
|
925.959.000
|
313.785.000
|
Supermarket, minyak,
farmasi, biro perjalanan
|
Sumber: Pemerintah
Kanada
(http://www.agr.gc.ca/rcs-src/coop/index_e.php?s1=info_coop&page=intro).
2.1.4 Asia
Di Jepang, 1 dari setiap
3 keluarga adalah anggota koperasi. Koperasi menjadi wadah perekonomian
pedesaan yang berbasis pertanian. Koperasi-koperasi pertanian menghasilkan
output sekitar 90 miliar dollar AS dengan 91% dari jumlah petani di negara
tersebut sebagai anggota. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan
fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai “bank rakyat” karena
koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. Bahkan salah
satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni bank Nurinchukin bank
(Rahardjo, 2002).
Di negara-negara
Asia lainnya dengan tingkat pembangunan ekonominya yang sudah relatif tinggi
seperti Singapura dan Korea Selatan, peran koperasi juga sangat besar. Di
Singapura 50% dari jumlah populasinya adalah anggota koperasi.
Koperasi-koperasi konsumennya memegang 55% dari pasar dalam pembelian-pembelian
supermarket dan mempunyai suatu
penghasilan sebesar 700 juta dollar AS. Di Korea Selatan, koperasi-koperasi
pertanian punya anggota lebih dari 2 juta petani (90% dari jumlah petani), dan
menghasilkan output sebanyak 11 miliar dollar AS. Koperasi-koperasi di
subsektor perikanan memiliki pangsa 71%.
Koperasi konsumen di Singapura, seperti juga
di misalnya Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat
perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis,
2003). Bahkan di beberapa negara tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan
perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang
berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk
memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya (Mulyo, 2004).
2.2 Faktor-faktor
Keberhasilan: Pembelajaran Bagi Koperasi Indonesia
Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut
memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis.
Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing
dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang
terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa
koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem
ekonomi kapitalis.
Banyak studi-studi
kasus atau laporan-laporan mengenai keberhasilan dari koperasi-koperasi di NM.
Misalnya dari Trechter (2005) mengenai the Fonterra
Cooperative Group (FCG) di Selandia Baru (SB) dan the Australian Wheat
Board (AWB). Dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek, pemasaran susu di SB
telah berubah dari suatu sektor yang terfrakmentasi ke dalam sejumlah koperasi
yang saling bersaing ke satu sektor yang
didominasi oleh satu koperasi. Tahun 1996 ada 14 koperasi susu di SB. Sekarang
hanya ada satu koperasi susu yang besar, yakni FCG,
dan dua yang kecil berbasis regional yang beroperasi di SB. Tahun 2000, Kiwi
Cooperative Dairies (Kiwi) dan New Zealand Dairy Group (NZDG) mendominasi
industri susu di SB dan mereka adalah pesaing-pesaing berat. Negosiasi-negosiasi antara Kiwi dan NZDG yang akhirnya membuat
terbentuknya FCG sangat lama dan alot. Menurut website-nya, FCG adalah korporasi terbesar di SB, dengan 7% dari
PDB negara itu, menyumbang sekitar 20% dari cadangan devisa SB, dan perusahaan
susu terbesar ke empat di dunia (http://fonterra.com). FCG melalui Kiwi Dairies dan NZDG memiliki sejumlah merek
konsumen yang sangat kuat, diantaranya Anchor, Peters and Brownes, dan Tip Top.
FCG punya sekitar
12.300 anggota dan fasilitas-fasilitas produksi di Brazil dan Australia, selain
di SB. FCG secara cepat memperluas
pengaruhnya di pasar susu di Australia dengan membeli Australian Food
Holdings, bagian dari National Food dan upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk
memperluas kepemilikannya dari Koperasi Bonlac dari 25% ke 50%. Tujuan utama
dari didirikannya FCG adalah untuk mencapai penghematan biaya-biaya dan untuk
menyediakan suatu landasan yang lebih efektif untuk bisa bersaing di
pasar-pasar susu global. Kedua tujuan ini mempromosikan penggabungan dua tipe
yang teridentifikasi dari penghematan-penghematan biaya-biaya. Pertama,
rasionalisasi dari rantai suplai diharapkan dapat menciptakan penghematan-penghematan
yang substansial. Fasilitas-fasilitas dan posisi-posisi yang duplikat
dieliminasi lewat penggabungan itu. Kedua, penggabungan itu diharapkan bisa
membuat FCG mampu merealisasikan skala ekonomis, yang berarti biaya rata-rata,
yang berarti juga harga jual rata-rata per satu unit output menjadi murah.
Pendirian
FCG waktu itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan dari industri susu SB
untuk bersaing di pasar-pasar internasional. FCG cocok dengan definisi dari suatu generasi baru dari
koperasi dalam banyak hal: (1) koperasi tersebut dimiliki dan diawasi oleh
pemakai (dengan pemberian suara berdasarkan jumlah susu yang diserahkan bukan
berdasarkan satu orang-satu suara); (2) keuntungan-keuntungan dibagikan
berdasarkan pemakaian; (3) FCG bukan sepenuhnya suatu koperasi berdasarkan
keanggotaan karena koperasi itu harus menerima pemasok-pemasok baru; (4) FCG
punya suatu hubungan kontraktual dengan produsen-produsennya yang harus punya
satu bagian dari stok susu FCG untuk setiap kilo dari susu yang akan
diserahkannya.
Karakteristik
penting lainnya dari FCG adalah bahwa koperasi tersebut mempunyai suatu fokus
yang kuat pada pembuatan produk-produk yang bervariasi yang menciptakan
kesetiaan pembeli dan harga premium.
AWB juga
memiliki suatu sejarah yang panjang. Didirikan oleh pemerintah Australia pada tahun 1939 dan memberikan otoritas
untuk mengekspor gandum. Pada tahun 2001 AWB ekspor lebih dari 15 juta mt,
gandum dan mempunyai pembeli-pembeli di lebih dari 40 negara. AWB punya saham 3% dari jumlah ekspor dan 12% dari
ekspor pertanian Australia. Di dalam konteks Australia dan pasar gandum global,
AWB adalah pemain utama. Pada tahun 2001, AWB memegang saham terbesar kedua
(17%) dari penjualan-penjualan di pasar gandum global.
Peterson
(2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan
kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang
dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini.
Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan
organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi
terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif
dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan
(misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya
tim manajemen dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti
yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan
tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M).
Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam
persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan
kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan
kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota.
Misalnya, di koperasi produksi komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya
koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan
perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.
Loyd
(2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat
mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat
akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat
yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang
bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama,
dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar.
Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci
yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat
(antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan
mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau
proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan;
(4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan
cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang
mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus
(jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).
Berdasarkan
penelitian mereka tehadap perkembangan dari koperasi-koperasi pekerja di AS
Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa kriteria kunci dan
praktek-praktek terbaik. Menurut mereka, kriteria-kriteria kunci untuk memulai
suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1) memiliki kepemimpinan
yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan
teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2) menerapkan struktur organisasi
yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang cocok
terhadap bisnis bersangkutan (antara lain kondisi pasar/persiangan dan sifat
produk atau proses produksi dari produk bersangkutan); (3) kreatif dalam
pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga
lewat penjualan saham ke non-anggota atau pinjam dari bank); dan (4) mempunyai
orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best
practices menurut mereka adalah termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami
industri-industri atau sektor-sektor yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan
serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau
pola manajemen yang diterapkan sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem
manajemen bisa secara kolektif atau dengan suatu struktur hirarki
manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi yang didefinisikan secara jelas
dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.
Sedangkan
menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam
koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang
berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai
komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2)
selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat
dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan
memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil
keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara
manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab-
tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek
akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara
regular; (6) mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya;
dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan
konflik kepentingan.
Keeling
(2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak
koperasi-koperasi besar di
California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley
Growers (TVG) dan the Rice Growers
Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami
kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan
bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk
bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin
ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi
tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat
kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan
dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3)
keanggotaan yang pasif.
Sedangkan bagi Anderson dan Henehan (2003), manajemen dan
direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu keputusan yang tepat
dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis terkait (misalnya perubahan pasar atau masuknya
pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi. Mereka
harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka bisa
mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka, koperasi
yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara
faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur
berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur berkualitas adalah tugas para
anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan direktur bertanggung jawab dalam
menyeleksi manajer yang berkualitas, mengembangkan suatu strategi yang kuat,
dan mengimplementasikan suatu struktur keuangan yang baik. Selain itu, para
anggota juga harus aktif memonitor kinerja dari koperasi, dewan dan
manajemennya.
Di NM koperasi terutama di pertanian saat ini sedang mengalami perubahan
akibat persaingan global yang semakin sengit dan perubahan selera konsumen. Di
AS, akibat persaingan dari produk-produk pertanian dari luar negeri dan
perubahan pola konsumsi, telah terjadi konsolidasi dari produksi pertanian. Pada tahun 1969 terdapat 2.730.250 petani di negara tersebut, dan
pada tahun 1997 jumlahnya merosot ke 1.911.859, suatu penurunan 30%. Pada waktu
yang sama, rata-rata skala usaha petani meningkat. Saat jumlah petani menurun
dan jumlah produksi per petani meningkat, setiap individu pembeli produk-produk
pertanian menjadi sangat penting bagi koperasi koperasi lokal pemasok dan
pemasaran produk-produk pertanian. Pada waktu bersamaan, koperasi-koperasi
pertanian tersebut yang menghadapi pembeli yang lebih sedikit, masing-masing
dengan daya beli yang lebih besar, bersaing lebih agresif satu dengan yang lainnya
untuk mendapatkan pembeli/keuntungan. Industri-industri yang memasok petani
(bibit, pupuk dll.) dan industri-industri pengolahan produk-produk pertanian
sedang mengalami suatu periode dari konsolidasi, yang menyisakan lebih sedikit
jumlah pemain untuk bersaing mendapatkan bisnis dari sisa produsen yang masih
ada. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan kunci di industri-industri
tersebut dalam banyak kasus juga merupakan koperasi pemasok-pemasok dan
pembeli-pembeli lokal produk-produk pertanian. Ini artinya pilihan menjadi
lebih sedikit bagi koperasi saat harus menetapkan membeli dari dan menjual
kepada siapa, yang mengurangi daya tawar dari koperasi lokal tersebut. Saat
seperti ini dimana koperasi-koperasi lokal berjuang untuk menghadapi tantangan-tantangan
seperti itu, banyak yang merespons dengan melakukan perubahan structural.[3]
Dari penelitian
mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak manajer-manajer koperasi lokal
melakukan perubahan struktural dengan cara bergabung, akuisisi, bekerja sama,
dan melakukan aliansi strategis dengan koperasi-koperasi lainnya atau dengan
perusahaan-perusahaan berorientasi investor. Dari penemuan tersebut, mereka
menyimpulkan bahwa langkah-langkah seperti itu adalah sangat tetap agar
koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau
tetap kompetitif dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas.
Tetapi di atas
segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur sangatlah krusial. Mereka
harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar domestik dan global, baik
yang sedang berlangsung saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi di masa depan. Mereka harus bisa merespons secara cepat dan tepat
setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).
Dari pengamatannya
terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001) menjabarkan sejumlah
karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya yang paling menonjol
adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan
bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang
lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa
artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada
informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur
bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar
bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis) ; (6)
memakai/mengerjakan manajer professional (ini juga meningkatkan kinerja
koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya”
vs. “menambah rantai nilai”.
Dari penelitiannya
terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah
langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik,
yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani
skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk
mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan
tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau
kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas
mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar
ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan
cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat
dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik
regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas
dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai
standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen,
dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan
(6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan
membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara,
Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika
Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh
sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar
kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama
adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol,
dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah
intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor,
kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang
tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling
signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah.
Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif
berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan
kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi
telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya
berdasarkan anggota. Masih dalam kaitan
ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan
menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda
pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi
sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang
dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi
yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali
perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi
diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak
diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti
dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari
anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi
organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah
dan politik. Oleh karena itu, Gentil
(1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan
koperasi yang didefinisikan ulang.
Rangkuman dari hasil
Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di Las Vegas,
Nevada (AS)[4]menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh
pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era
sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun
suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam
kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama
untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan
profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran
(mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5)
mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi
lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting;
koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi
kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba
mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001,
2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari
tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis
dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS
dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada
beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus
layak secara ekonomi;[5](ii) koperasi harus
memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit
(simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi;[6](iii) posisi
koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar
koperasi;[7]dan pendidikan dan peningkatan
teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan
SDM)..
3. Potret Singkat Kinerja Koperasi di Indonesia
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan
bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak
103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah
itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami
peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami
perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November
2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun
2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang
menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006
tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang
aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit. Sedangkan menurut
Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Sasono, yang diberitakan di
Kompas, Kamis, per 31 Mei 2007 terdapat 138.000 koperasi di Indonesia, namun 30
persennya belum aktif.[8]Informasi
terakhir dari Triyatna (2009), jumlah koperasi tahun 2007 mencapai 149.793
units, diantaranya 104.999 aktif, atau sekitar 70% dari jumlah koperasi dan
sisanya 44.794 non-aktif (Tabel 4). Selama periode 2006-2007, jumlah koperasi
aktif tumbuh 6,1% sedangkan laju pertumbuhan koperasi tidak aktif sekitar 5,7%.
Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
Tabel 4: Perkembangan Usaha Koperasi, 1998-2007*
Periode
|
Jumlah
unit
|
Jumlah
anggota
(juta
orang)
|
Koperasi
aktif
|
RAT (%
dari koperasi aktif
|
|
Jumlah
|
%
|
||||
Des. 1998
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
|
52.000
103.077
110.766
117.906
123.181
130.730
132.965
141.738
149.793
|
..
27,3
23,7
24,001
27,3
27,5
27,4
28,1
..
|
..
..
96.180
..
93.800
93.402
94.818
94.708
104.999
|
..
86,3
81,0
78,9
76,20
71,50
71,0
70,1
70,00
|
..
40,8
41,9
46,3
47,6
49,6
47,4
46,7
..
|
*
Lihat lampiran untuk data paling akhir (September 2008) dan menurut propinsi.
Sumber:
Menegkop & UKM
Mengenai
jumlah koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/98,
menurut Soetrisno (2003a,c), pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya
secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya
Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis
pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian
koperasi.[9]
Salah
satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah
perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Data yang ada menunjukkan
bahwa kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2006.
Untuk volume usaha, nilainya naik dari hampir 23,1 triliun rupiah tahun 2000 ke
hampir 54,8 triliun rupiah tahun 2006; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah
tahun 2000 ke 3,1 triliun rupiah tahun 2006. (Tabel 5). Menurut data paling
akhir yang ada yang dikutip oleh Triyatna (2009), pada tahun 2007 jumlah SHU
koperasi aktif mencapai 3.470 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi aktif
sekitar 23.324 miliar rupiah. Selama periode 2006-2007, pertumbuhan SHU sekitar
7,9% dan modal luar 5,7%.
Tabel 5: Perkembangan Usaha Koperasi,
2000-2006*
Periode
|
Rasio
modal sendiri dan modal luar
|
Volume usaha
(Rp miliar)
|
SHU (Rp miliar)
|
SHU terhadap volume usaha (%)
|
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
|
0,55
0,72
0,58
0,63
0,71
0,71
0,77
..
|
23.122
38.730
26.583
31.684
37.649
34.851
54.761
..
|
695
3.134
1.090
1.872
2.164
2.279
3.131
3.470
|
3,00
8,09
4,1
5,91
5,75
6,54
5,72
..
|
*
Lihat lampiran untuk data paling akhir (September 2008) dan menurut propinsi.
Sumber: Menegkop & UKM
Memasuki tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi
kredit yang menguasai antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi. Sementara
itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya
sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi
aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro
menempati tempat kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI)-unit desa sebesar
46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program
pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian
koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada.
Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi
(Soetrisno, 2003c).
Berdasarkan data propinsi 2006, jumlah koperasi dan
jumlah koperasi aktif sebagai persentase dari jumlah koperasi bervariasi antar
propinsi. Pertanyaan sekarang adalah kenapa jumlah koperasi atau proporsi
koperasi aktif berbeda menurut propinsi? Apakah mungkin ada hubungan erat
dengan kondisi ekonomi yang jika diukur dengan pendapatan atau produk domestic
regional bruto (PDRB) per kapita memang berbeda antar propinsi? Secara
teori, hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per
kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi permintaan (pasar output),
pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat prospek pasar output baik, atau
pasar output dalam kondisi booming,
memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena
pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar
input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi
yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu
petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi kebutuhan para
petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang dapat disebut supply-push.[10]
[1] Di Inggris, bentuk koperasi-koperasi tradisional
adalah yang disebut 'bona fide co-operative' dibawah undang-undang Industrial and Provident Societies. Namun demikian, sejak tahun 1980an banyak koperasi yang
masuk di dalam Undang-undang perusahaan, yang dibatasi oleh saham-saham atau
oleh garansi. Dalam suatu upaya untuk tetap bisa bertahan, banyak koperasi yang
mengadopsi prinsip dari ‘kepemilikan bersama’, dan suatu saham modal nol atau
nominal, bersama dengan suatu ketentuan yang menetapkan pembubaran altruistik. Ini artinya bahwa
koperasi tidak dapat diakhiri dan aset-asetnya didistribusikan untuk keuntungan
pribadi. Fasilitas untuk ‘mengunci’ secara legal aset-aset dari sebuah koperasi
dengan cara ini mulai diberlakukan pada tahun 2004.
[2] Di AS, kebanyakan koperasi adalah dalam
bentuk perusahaan-perusahaan P.T., tetapi bentuk-bentuk legal lainnya juga
digunakan. Ada banyak koperasi yang juga membayarkan dividen kepada anggota
sesuai saham mereka di koperasi. Untuk koperasi-koperasi yang tidak mengeluarkan
dividen, surplus dikembalikan ke anggota-anggotanya dalam bentuk bonus atau
lainnya sesuai keterlibatan mereka di dalam koperasi.
[3]Lihat misalnya Cummins
(1993) dan Warman (1994).
[4] Hasil lengkapnya (termasuk
makalah-makalah dan/atau power point-
power point dari para pembicara) dari
konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat
dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for Cooperatives).
[5] Dukungan belanja rumah
tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk
menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan
keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan
yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan
oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
[6] Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui
koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai
kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni
"Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin
bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan
adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan
lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari
kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap
atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit
(Soetrisno, 2001).
[7] Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di
NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai
kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu.
Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun
kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan
kehadiran koperasi. Dengan demikian
koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi
ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang
teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat
kukuh.
[8] Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah
keterbatasan modal yang dialami banyak koperasi untuk mengembangkan usaha
mereka.. Hal ini merupakan salah satu imbas kenaikan harga bahan bakar minyak
tahun 2004 lalu, sehingga anggota koperasi kekurangan modal untuk tabungan.
Penyebab lainnya, pemerintah kurang menjalankan perannya sebagai pembina
koperasi, dan kebijakan yang digulirkan tidak mendukung pengembangan koperasi
rakyat. Ia memberi contoh, kebijakan pemerintah yang menyebabkan koperasi pasar
tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Menurutnya, perbankan juga
kerap tidak berpihak pada koperasi kecil. Koperasi kecil kerap kesulitan
mendapat pinjaman modal untuk pengembangan usaha.
[9] Namun demikian, menurut
Soetrisno (2001), pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan
koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi.
Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun
pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertikal maupun horizontal. Oleh
karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong
kembalinya pola spesialisasi koperasi..
[10] Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan, kenapa, menurut
data BPS, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) setiap tahun meningkat? Apakah
peningkatan tersebut mencerminkan perkembangan kewirausahaan (demand-pull) atau suatu refleksi dari
tingginya jumlah pengangguran atau tingkat kemiskinan (supply-push).
sumber : www.fe.trisakti.ac.id
No comments:
Post a Comment