Masalah Perbankan RI, Likuiditas!
Ilustrasi.
(Foto: Tangguh Putra/okezone)
JAKARTA - Perbankan Indonesia saat ini masih mempunyai masalah
dengan aliran likuiditas. Saat ini, likuiditas dari negara asing kebanyakan
masuk pada instrumen jangka pendek.
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani mengatakan manajemen likuiditas di perbankan kebanyakan masuk jangka pendek. Hal ini akan membahayakan perbankan ketika ada krisis.
"Dana Pihak Ketiga (DPK) itu semua jangka pendek, jadi kita bisa tahu problem likuiditas tinggi sekali. Jadi kalau ada krisis itu goyang," ungkapnya, kala ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (23/11/2012).
Menurutnya, hal ini berbeda dengan negara-negara maju. Dia mencontohkan Negari Matahari Terbit yang saat ini memilki banyak lembaga keuangan yang menangani likuiditas. "Lain kalau Jepang, mereka tidak akan terguncang karena banyak lembaga keuangannya," katanya.
Dia melanjutkan, OJK nantinya akan berencana menjadi lembaga seperti itu. "Sebetulnya pemerintah ingin mencanangkan sejak 2005-2006 tapi masih terlambat, sehingga di permerintah itu merger Bapepam dengan LK, tapi nonbank memang tidak bisa terlalu banyak. tapi kita perbandingan saja," tutur dia. (ade)
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani mengatakan manajemen likuiditas di perbankan kebanyakan masuk jangka pendek. Hal ini akan membahayakan perbankan ketika ada krisis.
"Dana Pihak Ketiga (DPK) itu semua jangka pendek, jadi kita bisa tahu problem likuiditas tinggi sekali. Jadi kalau ada krisis itu goyang," ungkapnya, kala ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (23/11/2012).
Menurutnya, hal ini berbeda dengan negara-negara maju. Dia mencontohkan Negari Matahari Terbit yang saat ini memilki banyak lembaga keuangan yang menangani likuiditas. "Lain kalau Jepang, mereka tidak akan terguncang karena banyak lembaga keuangannya," katanya.
Dia melanjutkan, OJK nantinya akan berencana menjadi lembaga seperti itu. "Sebetulnya pemerintah ingin mencanangkan sejak 2005-2006 tapi masih terlambat, sehingga di permerintah itu merger Bapepam dengan LK, tapi nonbank memang tidak bisa terlalu banyak. tapi kita perbandingan saja," tutur dia. (ade)
Perbankan Selamat dari Krisis karena Tidak Masuk
Bursa"
Ilustrasi
(Foto: Okezone)
BOGOR - Perbankan saat ini membutuhkan alliran likuiditas valas
karena tingginya permintaan mata uang asing tersebut. Salah satu cara
memperoleh valas yang cepat adalah dengan masuk ke pasar modal, lantaran dana
asing banyak berputar di dalamnya.
Namun, Anggota tim transisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Triyono, mengungkapkan perbankan tidak seharusnya masuk dalam pasar modal. Menurutnya, perbankan tidak perlu ikut menjual saham di pasar modal.
"Perbankan Indonesia kenapa selamat dari krisis ? Karena bank tidak ikut ke pasar modal. Pebankan kita masih tradisional," kata dia dalam sosiaisi OJK di Hotel Aston, Bogor, Sabtu (24/11/2012).
Oleh karena itu, dia menilai tidak perlu ada payung hukum yang mengatur, jika perbankan diperbolehkan ikut mengelola pasar modal. "Jangan sampai ada RUU yang mengatur jual saham di pasar. Nanti biar saja securities company yang mengelola," katanya.
Menurut dia, dalam para nasabah yang ikut serta dalam securities company sudah siap menerima resiko dari volatile pasar saham yang terjadi. Hal ini jelas berbedadengan nasabah di perbankan, yang mayoritas ingin danannya aman. "Securities company itu investornya sudah commit untuk beresiko. Jadi bedanya di situ, investor masuk ke pasar modal sudah commit, bisa untung atau rugi. Jadi polanya sudah beda," kata dia.
Meski demikian, dia mengungkapkan dana yang disimpan di bank juga tidak sepenuhnya terjamin. "Hanya karena ada kebaikan dari pemerintah saja. Ada blanket guarantee, LPS, yang menjamin dana sampai sampai Rp2 miliar," tukas dia. (gna) (rhs)
Namun, Anggota tim transisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Triyono, mengungkapkan perbankan tidak seharusnya masuk dalam pasar modal. Menurutnya, perbankan tidak perlu ikut menjual saham di pasar modal.
"Perbankan Indonesia kenapa selamat dari krisis ? Karena bank tidak ikut ke pasar modal. Pebankan kita masih tradisional," kata dia dalam sosiaisi OJK di Hotel Aston, Bogor, Sabtu (24/11/2012).
Oleh karena itu, dia menilai tidak perlu ada payung hukum yang mengatur, jika perbankan diperbolehkan ikut mengelola pasar modal. "Jangan sampai ada RUU yang mengatur jual saham di pasar. Nanti biar saja securities company yang mengelola," katanya.
Menurut dia, dalam para nasabah yang ikut serta dalam securities company sudah siap menerima resiko dari volatile pasar saham yang terjadi. Hal ini jelas berbedadengan nasabah di perbankan, yang mayoritas ingin danannya aman. "Securities company itu investornya sudah commit untuk beresiko. Jadi bedanya di situ, investor masuk ke pasar modal sudah commit, bisa untung atau rugi. Jadi polanya sudah beda," kata dia.
Meski demikian, dia mengungkapkan dana yang disimpan di bank juga tidak sepenuhnya terjamin. "Hanya karena ada kebaikan dari pemerintah saja. Ada blanket guarantee, LPS, yang menjamin dana sampai sampai Rp2 miliar," tukas dia. (gna) (rhs)
BI Wajibkan Pemilik Beberapa Bank Bentuk Holding
Gedung
Bank Indonesia. (Foto: Okezone)
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengatur pemilik bank memiliki lebih
dari satu bank untuk membentuk holding company terhadap bank-bank yang
dimilikinya. Bank Sentral, tidak diharuskan pemilik bank melakukan merger.
"Penyempurnaan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia (single presence policy) dilakukan dengan membuka kembali opsi pembentukan perusahaan induk (holding company). Dengan ini, strategic investor yang sudah menjadi pemegang saham pengendali dapat menjadi pemegang saham pada bank laain tanpa kewajiban melakukan merger," ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution saat Bankers Dinner, di Gedung BI, Jakarta, Jumat (23/11/2012).
Dengan melakukan holding ini, Darmin menilai, pengelolaan bank akan dilakukan dengan lebih intensif.
"Adapun kewajiban membentuk holding ini dikecualikan untuk bank caampuran yang didirikan di dalam dan luar negeri sebelum 1998 dan bank syariah," tambah Direktur Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis di tempat sama.
Irwan menambahkan, pembentukan holding bank ini, harus berbadan hukum Indonesia. "Fungsi holding dibentuk sebagai suatu organ di dalam organisasi bank yang menjadi pemilik tunggal dan dipimpin salahsatu anggota direksi bank," tandasnya. (ade)
"Penyempurnaan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia (single presence policy) dilakukan dengan membuka kembali opsi pembentukan perusahaan induk (holding company). Dengan ini, strategic investor yang sudah menjadi pemegang saham pengendali dapat menjadi pemegang saham pada bank laain tanpa kewajiban melakukan merger," ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution saat Bankers Dinner, di Gedung BI, Jakarta, Jumat (23/11/2012).
Dengan melakukan holding ini, Darmin menilai, pengelolaan bank akan dilakukan dengan lebih intensif.
"Adapun kewajiban membentuk holding ini dikecualikan untuk bank caampuran yang didirikan di dalam dan luar negeri sebelum 1998 dan bank syariah," tambah Direktur Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis di tempat sama.
Irwan menambahkan, pembentukan holding bank ini, harus berbadan hukum Indonesia. "Fungsi holding dibentuk sebagai suatu organ di dalam organisasi bank yang menjadi pemilik tunggal dan dipimpin salahsatu anggota direksi bank," tandasnya. (ade)
Tiga
Masalah Terbesar di Bank Syariah
JAKARTA, KOMPAS.com - Perkembangan bisnis perbankan syariah masih belum bisa
berkembang pesat di Indonesia. Hal itu disebabkan karena masih ada persoalan
yang menghambat bisnis perbankan syariah tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi
Bank-bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad K Permana menjelaskan hingga
saat ini aset industri perbankan syariah masih memiliki pangsa pasar di bawah 4
persen dibandingkan dengan keseluruhan perbankan nasional. "Sebenarnya ada
tiga masalah besar di perbankan syariah. Ini yang menghambat perkembangan
bisnis syariah sampai saat ini," kata Achmad saat diskusi "Menguak
Krisis Sumber Daya Insani di Perbankan Syariah" di D Consulate Resto
Jakarta, Senin (13/8/2012).
Pertama, ketersediaan produk dan standarisasi
produk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan selama ini masih banyak bank
syariah yang belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi
ini diperlukan dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan
dengan bank konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya
diperuntukkan bagi nasabah muslim, melainkan juga nasabah nonmuslim.
Kedua, tingkat pemahaman (awareness)
produk bank syariah. Hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu
tentang produk-produk perbankan syariah dan istilah-istilah di perbankan
syariah. "Hanya sekitar 30 persen dari sumber daya yang direkrut
mengetahui istilah perbankan syariah serta tingkat awareness-nya,"
tambahnya.
Selain itu, masalah ketiga industri
perbankan syariah adalah sumber daya manusia (SDM). Masalah yang terjadi adalah
pihak perbankan kesulitan untuk mencari SDM perbankan syariah yang berkompeten
dan mumpuni. "Kami justru banyak mengambil SDM untuk perbankan syariah
dari perbankan konvensional dan SDM-SDM yang potensial. Sangat sedikit SDM yang
diambil atau lulusan perguruan tinggi syariah," katanya.
Menurut Achmad kecenderungan
mengambil SDM dari luar perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan
syariah biasanya justru mudah diberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Dari sisi karir, Achmad juga
mengiming-imingi kemudahan untuk bersaing dibandingkan dengan karir di
perbankan konvensional. "Rata-rata motivasi mereka bekerja adalah mencari
karir dan pendapatan. Secara karir, SDM perbankan syariah tidak kalah dengan
perbankan syariah, karena orangnya minim sehingga mudah untuk naik jenjang
karir. Beda dengan perbankan konvensional yang sudah jenuh," jelasnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia
memproyeksi industri perbankan syariah bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15
persen pada 10 tahun mendatang (atau sekitar tahun 2022) apabila bisa mengalami
pertumbuhan yang stabil seperti beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI)
Halim Alamsyah yang saat ini menjadi anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mengatakan industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan dengan rerata 40,5
persen per tahun, dalam setengah dasawarsa terakhir. Pertumbuhan tersebut dua
kali lebih cepat dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pangsa
pasarnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun saat ini pangsa
pasarnya (berdasarkan aset) masih sekitar 4 persen.
Bank Diminta Hati-hati Kucurkan Kredit Valas
VIVAnews - Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional
(Perbanas) Sigit Pramono mendukung langkah Bank Indonesia membuka term deposit valuta asing untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah. Perbankan juga harus lebih hati-hati terhadap
keringnya likuiditas valas.
"Secara umum ini kan kewenangan BI. BI paham betul, tapi kita memang harus hati-hati. Perbankan harus hati-hati karena dolar akan sangat ketat," kata Sigit tadi malam.
Sigit mengingatkan agar bank tidak jor-joran menyalurkan kredit dalam bentuk valuta asing. "Kita harus sadar bahwa pengaruh krisis Eropa belum berhenti. Akan ada gejolak valuta asing dan suku bunga, itu pasti terjadi," ujarnya.
Untuk mengantisipasi krisis Eropa, Sigit menuturkan, perbankan sudah melakukan stress test, karena gejolak fluktuasi valas itu akan sangat berpengaruh pada bisnis perbankan. Jika fluktuasi terlalu besar, perbankan bisa kelimpungan.
Seperti diketahui, Bank Indonesia, Selasa, 29 Mei 2012 mengumumkan penerbitan term deposit atau instrumen penempatan devisa oleh perbankan domestik di Bank Indonesia dalam bentuk valas. Dengan adanya kebijakan tersebut, perbankan nasional tak perlu melempar valas, khususnya dolar AS ke pasar keuangan di luar negeri. BI akan memberikan bunga di atas pasar luar negeri agar perbankan lebih tertarik menyimpan valasnya di dalam negeri.
Term deposit ini dapat menjadi outlet penempatan devisa untuk menfasilitasi masuknya devisa, termasuk hasil ekspor. Kebijakan ini untuk mengantisipasi keringnya likuiditas valas di Indonesia yang berimplikasi melemahnya nilai mata uang rupiah saat ini.
"Secara umum ini kan kewenangan BI. BI paham betul, tapi kita memang harus hati-hati. Perbankan harus hati-hati karena dolar akan sangat ketat," kata Sigit tadi malam.
Sigit mengingatkan agar bank tidak jor-joran menyalurkan kredit dalam bentuk valuta asing. "Kita harus sadar bahwa pengaruh krisis Eropa belum berhenti. Akan ada gejolak valuta asing dan suku bunga, itu pasti terjadi," ujarnya.
Untuk mengantisipasi krisis Eropa, Sigit menuturkan, perbankan sudah melakukan stress test, karena gejolak fluktuasi valas itu akan sangat berpengaruh pada bisnis perbankan. Jika fluktuasi terlalu besar, perbankan bisa kelimpungan.
Seperti diketahui, Bank Indonesia, Selasa, 29 Mei 2012 mengumumkan penerbitan term deposit atau instrumen penempatan devisa oleh perbankan domestik di Bank Indonesia dalam bentuk valas. Dengan adanya kebijakan tersebut, perbankan nasional tak perlu melempar valas, khususnya dolar AS ke pasar keuangan di luar negeri. BI akan memberikan bunga di atas pasar luar negeri agar perbankan lebih tertarik menyimpan valasnya di dalam negeri.
Term deposit ini dapat menjadi outlet penempatan devisa untuk menfasilitasi masuknya devisa, termasuk hasil ekspor. Kebijakan ini untuk mengantisipasi keringnya likuiditas valas di Indonesia yang berimplikasi melemahnya nilai mata uang rupiah saat ini.
Berdasarkan kurs
tengah BI, rupiah pada Selasa 29 Mei 2012 ada di posisi 9.475 atau melemah
dibanding hari sebelumnya Rp9.425 per dolar AS.(umi)
Pembobolan
Citibank: Pembobolan Bank Bisa Terjadi Secara Acak
Kasus Pembobolan Citibank:
Pembobolan Bank Bisa Terjadi Secara Acak Pengamat perbankan dari Institute
for Development of Economic and Finance(Indef) Usman Hidayat mengatakan, kasus
pembobolan dana nasabah senilai Rp17 miliaroleh karyawan Citibank Indonesia
tidak bisa digeneralisasi ke bank-bank yang lain. Sebab,ini adalah risiko
operasional menyangkut internal
fraud (kejahatan orang
dalam).Karena itu, menurutnya, aksi kriminal ini sangat tergantung pada
moralitas ataucompany valuedan sistemreward danpunishment di bank
bersangkutan. Ini merupakansalah satu skema mitigasi risiko yang
direkomendasikan oleh komite basel II.“Sebab, betapapun canggihnya IT dan SOP
(Standar Operasional Perusahaan), tapi jika SDM (Sumber Daya Manusia)-nya
tidak memiliki integritas, moralitas dancompanyvalue, pembobolan dari dalam
akan terjadi,” katanya kepada INILAH.COM
, di Jakarta,Selasa (29/3).Karena
itu, dia menegaskan, kasus kejahatan internal, bukan menyangkut
soalkompleksitas usaha dan seberapa canggih teknologi informasi. “Kejadian
semacam iniakanterjadi secara acak di bank manapun dan apapun,” tandas
Usman. Dia menyarankan, pembinaan SDM internal bank harus ditingkatkan.
SDM sangatsusah diukur kareana tergantung pada value dan culture perusahaan
itu. “Jika karyawansudah berkomitmen memegang nilai-nilai perusahaan, kasus
pembobolan di Citibank seharusnya tidak akan terjadi,” ungkapnya.
Begitu juga dengan bank-bank lain
meskipun gaji kecil dan standar IT yang rendah.Secanggih apapun IT, merupakan
buatan manusia. Jika manusianya bertendensi jahat, bank akan tetap
terbobol.Karena itu, Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai Good Corporate
Governance(GCG) bukan hanya ditegakkan tapi juga harus
dipelihara. Menurutnya, tingkatan good governanceyang paling tinggi
adalahcompany value
dan
bukan kepengurusan. “Citibank jadi preseden buruk, sehingga
bank-bank lain harus antisipatif mencegah kejadian serupa tak terulang,”
timpalnya. Pebankan, lanjut Usman, harus mengelolacompany valuessehingga
karyawan turutmenjaganya. Karena itu,out put -nya pun akan positif. Dia
menambahkan,company value bukan barang jadi sehingga harus dikembangkan
dan di-maintainsesuai perkembanganterkini
BTN Masih Dilarang BI Cari Nasabah Tajir
PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN)
mengatakan sekarang inimereka masih belum boleh mencari nasabah kaya terkait
pembenahanstandard operating procedure(SOP). Sedangkan BI sendiri telah
membuka suspensi 23 bank untuk mencarinasabah kaya pada tanggal 2 Juni 2011.Hal
tersebut dikarenakan masih adanya SOP yang harus dibenahi di BTN
tersebut.Walaupun demikian BTN Optimis akan mulai membuka layanan priority
bankingpadabulan ini."Priority banking,kita sedang membenahi SOP, belumlah
ya. Mudah-mudahanbulan ini," ungkap Wakil Direktur Utama Bank BTN Evi
Firmansyah ketika ditemui di selaacaraPenawaran Umum Obligasi XV Bank BTN
2011di Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta(7/6/2011).Dijelaskan Evi, SOP yang
harus dibenahi adalah seperti strategi antifraud.
Dia jugamenjelaskan hal ini juga
mencegah banknya dari kejadian fraud belakangan ini. "Kita
sepertiantifraud,kan ada aturannya mengantisipasi, jangan sampai terjadi kaya
teman-teman," jelasnya.Untuk sertifikasi sendiri, dia mengaku telah
mendapatkannya, dan untuk prosedur dia juga mengaku telah memenuhinya
seperti kamera dan recorder. "Sertifikasi kita sudah ada,sesuai dengan
cabangnya kan. Penempatan TV sama recorder juga," tambahnya.Dia
menambahkan, untuk antisipasifraud ini sendiri akan lebih difokuskan
padasumber daya manusianya (SDM), dan sekarang dia mengaku masih memikirkan
mengenai priority bankingini untuk ke depannya. "Nanti ada rotasi,
enam bulan sekali. Itu masih kitapikirin ya, nasabahnya sudah nyaman. Sudah ada
kasus kemarin, kita hati-hati saja, "pungkasnya. (Okezone, 7 Juni 2011)
HSBC rawan lakukan pencucian uang
Senat AS menemukan adanya praktik pencucian uang
di Bank HSBC.
Sebuah penyelidikan yang dilakukan Senat Amerika
Serikat menemukan bukti bahwa lemahnya pengawasan terhadap bank terbesar Eropa
membuat bank tersebut rawan menjadi tempat pencucian uang dari seluruh dunia.
Laporan yang dibuka menjelang rapat dengar
pendapat senat pada Selasa (17/7) menyebut uang kartel obat bius Meksiko dalam
jumlah besar dipastikan pernah melewati HSBC.
Selain uang obat bius Meksiko, uang-uang yang
patut dicurigai dari Suriah, Kepulauan Cayman, Iran dan Arab Saudi juga
melintasi bank tersebut.
Laporan senat AS ini muncul di tengah-tengah masa
sulit bagi sektor perbankan Inggris yang saat ini semua standar dan praktiknya
tengah dalam sorotan.
Selain membuka kemungkinan adanya praktik
pencucian uang, laporan senat itu juga menunjukkan kegagalan Badan Pengendali
Keuangan AS gagal mengawasi HSBC.
Terkait laporan mengejutkan ini, manajemen HSBC
menegaskan bank itu tetap mampu mempertahankan akuntabilitasnya.
“Kami akan menjaga akuntabilitas. Dan kami
bertanggung jawab untuk memperbaiki semua yang berjalan keliru,” kata Direktur
Eksekutif HSBC Stuart Gulliver melalui sebuah memo.
“Selain menjawab pertanyaan dari subkomite, kami
juga akan menjelaskan sejumlah perubahan penting yang sudah kami lakukan
terkait penguatan infrstruktur dan budaya manajemen risiko kami,” tambah
Gulliver.
Cadangan devisa bi naik tipis menjadi US$106,56 MILIAR
Jumlah cadangan devisa BI naik tipis
menjadi US$106,56 miliar pada akhir Juli dari US$106,50 miliar pada bulan
sebelumnya. Cadangan devisa BI itu setara dengan 5,6 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri Pemerintah
Hal itu menjadi bagian dari laporan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang disampaikan oleh Kepala Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI,Dody Budi Waluyo hari ini (9/8)
Kenaikan cadangan devisa itu terjadi di tengah defisit transaksi berjalan yang meningkat pada triwulan II-2012. Menurut Dody, RDG melihat kenaikan defisit transaksi berjalan tersebut terutama akibat kinerja ekspor yang menurun di saat impor, khususnya impor bahan baku dan barang modal meningkat pesat.
"Di sisi lain, transaksi modal dan finansial mengalami kenaikan surplus yang signifikan, baik dalam bentuk investasi asing langsung (PMA), investasi portofolio asing, maupun penarikan utang luar negeri sektor swasta," kata Dody
Ia menambahkan perkembangan ini menunjukkan bahwa, di tengah kondisi perekonomian global yang masih diliputi oleh ketidakpastian, keyakinan investor asing terhadap ketahanan dan prospek perekonomian Indonesia tetap tinggi.
"Pada paruh kedua 2012, defisit
transaksi berjalan diprakirakan akan berkurang ke tingkat yang tidak
membahayakan kestabilan ekonomi nasional," kata dia. Prakiraan ini,
tambah dia, didasarkan pada ekspektasi bahwa kondisi perekonomian global dan harga
komoditas ekspor akan membaik serta didukung oleh respon kebijakan yang
ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah.
Selain itu, kata dia, kegiatan investasi dan impor barang modal yang dalam beberapa waktu terakhir tumbuh pesat diharapkan akan meningkatkan kapasitas perekonomian domestik sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada impor di masa mendatang.
Yang juga dilaporkan oleh RDG adalah Nilai tukar Rupiah pada Juli 2012 masih mengalami tekanan depresiasi. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,56% (mtm) ke level Rp 9.445 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 0,29% (mtm) menjadi Rp9.433 per dolar AS.
Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah itu, menurut BI, dipengaruhi oleh tingginya ketidakpastian global terkait krisis Eropa dan pemulihan ekonomi AS yang masih rentan, serta perlambatan ekonomi China.
Di sisi lain, ekspor yang melambat turut menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Untuk itu, Bank Indonesia senantiasa mencermati keseimbangan di pasar valuta asing untuk mengarahkan pergerakan nilai tukar Rupiah sejalan dengan fundamentalnya. (Ben / Deb)
Selain itu, kata dia, kegiatan investasi dan impor barang modal yang dalam beberapa waktu terakhir tumbuh pesat diharapkan akan meningkatkan kapasitas perekonomian domestik sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada impor di masa mendatang.
Yang juga dilaporkan oleh RDG adalah Nilai tukar Rupiah pada Juli 2012 masih mengalami tekanan depresiasi. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,56% (mtm) ke level Rp 9.445 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 0,29% (mtm) menjadi Rp9.433 per dolar AS.
Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah itu, menurut BI, dipengaruhi oleh tingginya ketidakpastian global terkait krisis Eropa dan pemulihan ekonomi AS yang masih rentan, serta perlambatan ekonomi China.
Di sisi lain, ekspor yang melambat turut menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Untuk itu, Bank Indonesia senantiasa mencermati keseimbangan di pasar valuta asing untuk mengarahkan pergerakan nilai tukar Rupiah sejalan dengan fundamentalnya. (Ben / Deb)
sumber : http://is.gd/BDo0Ks
PERBANAS memintan Kajian RUU dikaji
Intensif
Jakarta - Perhimpunan Bank-bank Umum
Nasional (Perbanas) meminta agar pembahasan terhadap RUU Perbankan dilakukan
secara mendalam dan tidak tergesa-gesa serta melibatkan semua pihak yang
berkepentingan.
"Perlu dihindari inkonsistensi dengan UU lain seperti UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan lainnya," kata Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono dalam seminar Revisi UU Perbankan: Sekedar Tambal Sulam atau Perumusan Ulang di Jakarta, Rabu (25/7/2012).
Menurut Sigit pelibatan pihak-pihak yang berkepentingan itu misalnya didasari dengan adanya Pasal 49 UU tentang OJK yang telah mengalihkan kewenangan terkait perbankan menjadi kewenangan OJK
Sigit menegaskan perlu dihindari inkonsistensi dengan UU lainnya, seperti UU OJK, UU tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), termasuk juga Peraturan Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fatwa Mahkamah Agung (MA), maupun UU Perlindungan Konsumen.
Selain itu, Sigit juga mengimbau agar UU Perbankan yang baru juga memberi kejelasan mengenai struktur dan jenis bank di Indonesia.
"Dengan kejelasan struktur dab
jenis-jenis bank, maka penyusunan RUU Perbankan akan lebih mendasar dalam hal
aturan tingkat perijinan usaha perbankan, dan jenis-jenis bank termasuk juga
peranan dari bank perkreditan rakyat atau bank khusus lainnya," kata Sigit
Menurut dia dengan hal itu kepastian hukum dapat tercapai, khususnya yang menyangkut ketentuan rahasia bank, ketentuan benturan kepentingan, ketentuan "multi-licensing", ketentuan terkait dengan sanksi dan pidana serta ketentuan penyelesaian sengketa nasabah dan bank.
"Jadi, revisi UU Perbankan ini sebaiknya merupakan suatu pemikiran dan perumusan baru yang menggambarkan mimpi, cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia dalam mengembangkan perbankan nasional yang menyejahterakan bangsa," katanya. [rus]
Menurut dia dengan hal itu kepastian hukum dapat tercapai, khususnya yang menyangkut ketentuan rahasia bank, ketentuan benturan kepentingan, ketentuan "multi-licensing", ketentuan terkait dengan sanksi dan pidana serta ketentuan penyelesaian sengketa nasabah dan bank.
"Jadi, revisi UU Perbankan ini sebaiknya merupakan suatu pemikiran dan perumusan baru yang menggambarkan mimpi, cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia dalam mengembangkan perbankan nasional yang menyejahterakan bangsa," katanya. [rus]
sumber : http://is.gd/GlSntM
Hecker international terlibat dalam
pembobolan bank
Jakarta - Transaksi perbankan via internet alias online transaction
termasuk cara bertransaksi yang sangat praktis karena dapat digunakan kapan
saja dan dimana saja. Namun seiring berkembangnya waktu ternyata transaksi
online banking menjadi ladang yang menyegarkan bagi penjahat cyber crime yang
mengambil keuntungan dengan tumbuh dan berkembangnya sistem ini termasuk di
Indonesia.
"Di indonesia sendiri banyak sekali penyimpang, baik itu karena perbankan yang menggunakan internet seperti internet banking, sms banking dan juga credit card dan debit card yang rawan terhadap tindak kriminal," kata Kombespol Djoko Purbo, Kasubid Perbankan dan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Bareskrim POLRI saat ditemui wartawan di Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Kamis (05/07/12).
"Seperti kasus credit card dan debit card yang datanya dicuri dan dibuat duplikat kartunya yang mengunakan bukan pemiliknya tetapi orang lain," imbuh Djoko
Djoko mengungkapkan kasus tersebut sudah masuk dalam forces border yaitu antara negara dan melibatkan sindikat hacker internasional.
Selain kasus diatas ada modus lain yaitu online trading fiktif yaitu mencantumkan barang jualannya dan ketika orang tertarik untuk membeli kemudian mentransfer uang ke nomor rekening penjual barangnya tidak terkirim.
Sms palsu untuk mentransfer beberapa uang merupakan modus selanjutnya walaupun dalam penanganan kasus ini tidak terlalu banyak kerugiaannya namun ini merupakan modus yang harus wajib untuk diketauhi dan dipelajari.
" Dari tahun ke tahun modus ini semakin meningkat dari segi average maupun kualitas, saya rasa para hacker-hacker dari masing-masing negara saling bekerja sama," ungkap Djoko.
Bencana kekeringan likuiditas mengancam bank di
Negara berkembang
Telah
terjadi penarikan dana masif yang cenderung kembali ke negara-negara asal.
JAKARTA
- Krisis perbankan Eropa dan berbagai akibat ikutannya telah membuat para
investor dan bank-bank global menarik kembali dananya dari berbagai belahan
dunia. Proses ini diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi dunia,
memperlemah globalisasi dan juga melukai pertumbuhan ekonomi negara-negara
sedang berkembang.
“Telah terjadi penarikan dana masif yang cenderung kembali ke negara-negara asal, bukan hanya di wilayah tertentu tetapi terjadi secara umum. Kami melihat ancaman yang nyata dan dekat,” kata Piroska Nagy, direktur pada European Bank for Reconstruction and Development, yang dikutip Reuters hari ini (26/6).
Para pengambil keputusan umumnya sepakat bahwa merebaknya globalisasi pada tahun 1990-an dan 2000-an didorong oleh ekspansi perbankan dan investor melampaui batas-batas negara mereka. Dan kini hal itu mengalami pembalikan secara besar-besaran.Tahun lalu, perbankan Eropa menyalurkan pinjaman ke negara-negara emerging market 10 kali dari yang disalurkan oleh perbankan AS. Namun kini perbankan Eropa dengan dengan sangat drastis menarik dana-dana tersebut.
Menurut data Bank for International Settlements, pinjaman global yang disalurkan bank-bank anjlok US$977 miliar pada kuartal keempat tahun lalu atau sekitar 2,5 persen, penurunan terbesar sejak kolapsnya Lehman Brothers tiga tahun lalu.Anjloknya kredit ini dimulai oleh bank-bank di kawasan euro zone, yang memotong pinjamannya sebesar US$584 miliar atau sekitar 4,5 persen.IMF memperkirakan April lalu bank-bank Eropa masih akan terus mengalami penyusutan neraca hingga US$2,6 triliun pada akhir 2013 atau hampir 7 persen dari total asetnya. Dan seperempatnya akan berasal dari pengurangan penyaluran kredit.Pertanyaannya adalah apakah penarikan dana ini hanya sebuah fenomena sementara atau justru sebuahtren jangka panjang yang akan mengancam globalisasi ekonomi dunia?
Lars Thunell, pemimpin World Bank's International Finance Corporation, yang melakukan pendanaan pada sektor swasta di berbagai negara emerging market, mengatakan penarikan kredit perdagangan masih merupakan momok yang menakutkan di negara-negara sedang berkembang dan menjadi masalah utama dalam penerapan Basel III.
"Telah terjadi kekeringan
kredit atau semacamnya. Basel III telah memperparah persoalan dengan
mempersyaratkan penambahan modal bagi bank untuk memperbesar rasio modal
pembiayaan perdagangan (trade finance),” kata dia. Ia menekankan seharusnya
pembiayaan perdagangan diklasifikasikan sebagai kredit berisiko rendah.
"Total penarikan dana bank mencapai US$500 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Itu jumlah yang besar. Kami mati-matian mendapatkan sindikasi perbankan Asia dan mengajak mereka untuk terlibat. Kenyataannya sangat sulit,” kata dia.
(Ben / Deb)
sumber : jaringnews.com / http://is.gd/6NGAS5
Antisipasi krisis ,perbankan kurangi deviden
Pada tahun sebelum dividen hingga 50
persen.Mayoritas perusahaan terbuka, termasuk perbankan menurunkan devident pay
out ratio para tahun ini. Langkah ini untuk mengantisipasi dampak krisis global
sehingga membutuhkan dana cadangan dan laba ditahan lebih besar.
"Dividen tahun 2012 untuk laporan laba bersih 2011 cenderung lebih kecil dibanding sebelumnya," kata Vuce President Financial Planning & Performance Management, Bank International Indonesia (BII), Nurmala Damanik di sela BII Journalist Training, di Jakarta, hari ini.
Dia mengatakan, jika pada tahun 2011 dan tahun-tahun sebelum, sejumlah perusahaan terbuka banyak yang membagikan dividen hingga 50 persen dari laba bersihnya. Sementara untuk tahun ini, trennya menurun berkisar di level 20-30 persen.
"Dividen tahun 2012 untuk laporan laba bersih 2011 cenderung lebih kecil dibanding sebelumnya," kata Vuce President Financial Planning & Performance Management, Bank International Indonesia (BII), Nurmala Damanik di sela BII Journalist Training, di Jakarta, hari ini.
Dia mengatakan, jika pada tahun 2011 dan tahun-tahun sebelum, sejumlah perusahaan terbuka banyak yang membagikan dividen hingga 50 persen dari laba bersihnya. Sementara untuk tahun ini, trennya menurun berkisar di level 20-30 persen.
Saat ini, Eropa tengah dilanda krisis keuangan yang dikhawatirkan menjalar ke negara-negara lain di dunia. Tidak hanya di zona Uni Eropa juga ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Mengantisipasi kondisi tersebut, kata Damanik, perusahaan di Indonesia, termasuk perbankan memperkuat dana cadangan dan laba ditahan.
Sehingga, kata dia, jika perusahaan dan perbankan memerlukan dana dalam rangka memperkuat usaha, bisa langsung diambil dari pos tersebut.
Sebagai gambaran, PT Bank Mandiri Tbk tahun ini membagikan dividen senilai Rp104,97 per saham atau 20 persen dari laba bersih tahun 2011. Sementara dividen tahun lalu sebesar 35 persen dari laba tahun 2010.
Begitu halnya BNI yang tahun ini membagikan dividen sebesar Rp1,16 triliun, atau 20 persen dari total laba bersih 2011. Adapun dividen tahun lalu sebesar 30 persen dari laba tahun 2010.
Sementara BII tidak membagikan dividen untuk laba bersih tahun buku 2011 yang mencapai Rp669 miliar. Tercatat sebesar Rp602,06 miliar ditetapkan sebagai laba ditahan untuk mendukung pertumbuhan bisnis.
sumber : beritasatu.com / http://is.gd/78aNNY
No comments:
Post a Comment