1. Masa Penjajahan Saat masih dalam penjajahan, perekonomian
Indonesia dikuasai oleh negara asing(penjajah). Saat masa penjajahan Belanda,
VOC didirikan untuk memonopoli perdagangan di Indonesia. VOC memiliki Hak
Octrooi, yang berisi :
a. Hak mencetak uang
b.Hak mengangkat dan memberhentikan
pegawai
c.Hak menyatakan perang dan damai
d.Hak untuk membuat angkatan
bersenjata sendiri
e.Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja Oleh karena
itu, pada saat Belanda menjajah Indonesia, perekonomian Indonesia dikuasai
Belanda sepenuhnya.
2. Orde Lama * Setelah Kemerdekaan kondisi perekonomian
Indonesia sangat buruk, terjadi inflasi yang sangat tinggi karena ada 3 mata
uang yang berlaku di Indonesia. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a. Program Pinjaman Nasional, Mentri
keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP melakukan pinjaman ke negara
lain pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke
India, mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi
Ekonomi pada Februari 1946 dengan tujuan memperoleh kesepakatan dalam
menanggulangi masalah – masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi
dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi)
pada 19 Januari 1947 e. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera)
pada tahun 1948 dengan cara mengalihkan individu bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
f. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada
pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada
pangan, diharapkan perekonomian akan membaik.
* Masa Demokrasi Liberal
(1950-1957) Pada masa ini, sistem politik dan sistem ekonomi Indonesia
menggunakan prinsip – prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar,
padahal pada kenyataannya pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi saat itu, antara lain :
a. Gunting Syarifuddin, yaitu
pemotongan nilai mata uang (sanering) untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
agar tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya
menumbuhkan semangat berwirausaha para pengusaha pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya kepada importir
pribumi serta memberikan kredit pada pengusaha pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai
bank sentral dan bank sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali
Sastroamijoyo I) , yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
kepada pengusaha pribumi. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
pengusaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e. Pembatalan sepihak atas hasil
perjanjian KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha – pengusaha
pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan – perusahaan tersebut.
* Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967) Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli
1959, Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi
Indonesia menjurus pada sistem etatisme (semuanya diatur oleh pemerintah).
Sistem ini diharapkan dapat membawa Indonesia pada kemakmuran bersama dan
persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Kebijakan – kebijakan tersebut antara
lain :
a. Devaluasi -> pada 25 Agustus 1959 pemerintah menurunkan nilai uang
sebagai berikut : uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50,00; uang kertas
pecahan Rp 1.000,00 menjadi Rp 100,00; dan semua simpanan di bank yang melebihi
Rp 25.000,00 dibekukan.
b. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai
tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya
justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962 harga barang – barang naik 400%.
c. Devaluasi -> pada 13 Desember
1965 pemerintah menjadikan uang senilai Rp 1.000,00 menjadi Rp 1,00 sehingga
uang Rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang Rupiah lama, tetapi di
masyarakat uang Rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Tindakan
pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya, pada masa ini banyak
proyek – proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. 3. Masa Orde Lama
Pada masa ini, sistem ekonomi Indonesia ditujukan pada pembangunan dalam segala
bidang namun dalam kenyataannya perekonomian Indonesia malah semakin parah
karena KKN. 4. Masa Reformasi
* Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver – manuver yang cukup tajam
dalam bidang ekonomi. Kebijakan – kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan
stabilitas politik.
* Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pun, belum
ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari
keterpurukan padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain : masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah.
* Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri Masalah – masalah
yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain : a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 Milyar pada
pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri
sebesar Rp 116.3 triliun. b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah
menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara.
Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan
berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
* Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi
subsidi BBM, dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan serta bidang – bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial, seperti ribut saat mengantri yang bahkan berujung pada hilangnya nyawa
seseorang. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita
adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk
menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang
selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salahsatunya adalah revisi undang – undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah. Pada pertengahan Bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi
seluruh sisa hutang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda – agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara
penduduk kaya dengan miskin menajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari
35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain : pengucuran kredit
perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI) sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap karena inefisiensi pengelolaan
anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar
negri tetapi di lain pihak, kondisi ekonomi dalam negeri masih kurang kondusif.
http://dc310.4shared.com
No comments:
Post a Comment